Wednesday, December 30, 2015

GAZWUL FIKRI 6 HUKUM-HUKUMAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN



 GAZWUL FIKRI 6 HUKUM-HUKUM DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Dr.H.M.Rakib,S.H.,M.Ag…LPMP RIAU INDONESIA

             Penulis berpendapat, bahwa hukuman fisik di madrasah dan sekolah dan pesantren, sebahagian  harus dihapuskan. Kalau ada hukuman yang bersifat mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan kekerasan, karena kebanyakan ta’zir yang menggunakan kekerasan  akan membuat santri lebih parah, tingkat pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang dita’zir menyimpan dendam. Terkadang tidak sadar bahwa ta’zir yang diberikan kepadanya itu bermaksud baik agar  kesalahan, tidak diulang kembali.
           Alternatif hukuman selain ta’zir menurut penulis di tahap awal, harus dikuatkan akhlak atau etika, berupa sanksi sosial. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah atau pesantren yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya kekerasan yang disebut bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[1] Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu diselesaikan penanganan bagi korban bullying di berbagai tempat. Ada tempat tertentu yang sering terjadinya tindak kekerasan, di antara tempat itu, dinyatakan di ndalam tabel ini:

Tabel 6
Tempat Terjadinya Kekerasan Bullying
No
Kekerasan (Bullying)
Jumlah Kasus
Persentase

1
Di Sekolah
226
54,20%
2
Di Luar Sekolah
191
45,80%

Total
417
100%

Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

                Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti  pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak.

Tabel . IV.7
Bentuk Kekerasan Bullying Terhadap Anak


Kekerasan (Bullying)
Jumlah Kasus
Persentase

Kekerasan Fisik
89
21,34%

Kekerasan Seksual
118
28.30%

Kekerasan Psikis
210
50,36%

Total
417
100%


Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007.

                Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap  ini.Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan. Walaupun demikian, hukuman fisik selama ini, juga punya dampak positif.
            Sepantasnyalah Rasulullah SAW., dijadikan contoh oleh  setiap pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak,  sehingga hukuman benar-benar dapat efektif, dan memberikan dampak Positif. Armai Arief, kesimpulan penelitiannya  mengatakan bahwa dampak positif dari hukuman antara lain:
            1)  Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
            2)  Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
            3)  Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya. [2]
             Kemudian M. Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi
                 dua, yaitu:
            1) Memperbaiki tingkah laku  pelanggar. Misalnya yang tidak mengerjakan   PR, akan dihukum menghafal 20 kosakata baru. Karena mendapat hukuman itu anak anak merubah sikap malasnya mengerjakan PR, menjadi rajin mengerjakan PR Bahasa Arab.
             2) Memperkuat kemauan  pelanggar untuk perbaikan
Murid yang sadar dan mengubah tingkahnya kearah yang lebih baik, akan memberikan ketenteraman kepada guru, walaupun guru sendiri, sudah mendapatkan  perlindungan hukum, untuk bekerja secara aman, kreatif, profesional, dan menyenangkan,[3] sesuai dengan yang implementasi Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 telah menjadikan guru dan dosen, sebagai sebuah jabatan profesional.
Anak-anak yang membolos sekolah oleh sebagian ahli, dilakukan pemanggilan orang tua murid  dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah adalah skors. Tapi kejadian di Inggris, murid membolos, orang tua dipenjarakan. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukuman ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat di mana 11.188 orang tua dijatuhi sanksi serupa. Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial, dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.
Adapun pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, berupa pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.[4] Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka.[5]
Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah “fitnah”  bagi orang tua, karena hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah SWT.,     mengingatkan bahwa anak-anak itu adalah fitnah (ujian/cobaan). Tetap padanya terdapat ganjaran yang besar.” [6] Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, orang harus lebih bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api neraka.[7].
            Secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya.
              Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Sebaliknya harus ada sanksi terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Jangan sampai mereka memposisikan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihukum berat, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru.
             Masyarakat menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Sulit menentukan kadar sanksi fisik di lingkungan sekolah.
                   Perintah  ajaran Islam, “pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”[8]As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya memukulnya mereka jika tidak shalat setelah berusia sepuluh tahun. Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perintah  yang tidak wajib, atau memukul terhadap hal yang tidak wajib. Jika dibolehkan  memukul binatang untuk melatih mereka, lebih-lebih lagi anak yang belum baligh, demi kebaikannya agar terbiasa sebelum masuk usia baligh."[9]

              Anak kecil diperintahkan  melakukan salat
dan membaca Al-Quran, salat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan  serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan. Disyaratkan pada masalah “memukul “anak yang tidak salat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya anak-anak yang melalaikan shalat. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." [10]
               Ibnu Qayim menyatakan,"Sabda Rasulullah SAW., bahwa tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat pidana kriminal, misalnya mencuri yang penetapan hukumannya,  merupakan hak Allah. "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali, jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang suami memukul anak atau isterinya atau budaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali.
               Selayaknya hukuman tersebut dilakukan tidak di depan orang lain, untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Ibu bapak memukul  anak semata-mata bertujuan agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Demi perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan Syar’i agar jangan timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya, dia dipukul. Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW.
          Ibnu Utsaimin menyatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW., telah memerintahkan agar orang tua memerintahkan anak-anaknya melakukan salat dan memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun, tidak salat. Jika ketika itu mereka belum berusia balig, tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan, sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintai salat. Begitu pula dengan tindakan yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka terbiasa ketika sudah besar. Beliau juga berkata, Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan.
            5. Analisis Terhadap Kebijakan Memberikan Hukuman Ringan
 Analisis di sini adalah analisis normatif, yaitu meneliti hukum yang pernah diterapkan dalam pendidikan Islam. Syariat menetapkan pandangan yang lebih realistis dalam menghukum seseorang yang melakukan jarimah, tidak semata-mata ketika terjadi pelanggaran harus dihukum dengan apa yang telah tertera dalam nash al-Qur'an maupun hadits, akan tetapi perlu digali lebih dalam nash tersebut. Pertama kebijakan Kepala Sekolah atau pondok, tasharruful imam (kebijakan pemimpim)  Kedua al-maslahat (maslahat tujuan dan manfaatnya). Kaedah ini memberikan kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan tersebut, yaitu maslahat, karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat pada hukuman fisik. Maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
 Ketika memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat,[11] yang berarti bahwa kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.
              Kaidah ushul fiqih yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin.[12] Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
   Kebijakan  kepala sekolah, sangat diperlukan  harus dimusyawarahkan. Tidak sekedar pengetian retorik. Lebih luas yaitu segala aspek  yang meliputi  sanksi hukuman fisik, demi ketertiban anak didiknya. Musayawarah  dengan kaidah  yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentuk yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah.

42:38

                    Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. [13]
            Pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha menyatakan, bahwa Allah telah menganugerahkan kepada manusia, berupa kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat, dengan jalan memberi petunjuk  untuk melakukan musyawarah. Harus dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat.
             Ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, saat ini bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru memukulkan penggaris kayu di punggung dan telapak tangan siswa. Itulah  kekerasan yang diancam oleh UU Nomor 23 tahun 2002.
             Untuk jenis hukuman menendang dan tempeleng,  sudah menjadi kebiasaan sebelum berlakunya UU No.23 tersebut, seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Ada juga, jari guru mengenai mata muridnya. Kalau pelanggaran berat,  dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Di kampung   pada umumnya, jika murid  dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti  akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tuanya. Justru karena hukuman itu banyak orang yang berubah, akhirya sukses dalam hidupnya. Mereka yang berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses  pembinaan. Dengan hukuman itulah murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
               Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah R.I, memberlakukan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak saat itu keberadaan sanksi terhadap anak-anak  di sekolah menjadi sensasi berita. UU Perlindungan anak, khususnya Pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
               a. diskriminasi;
               b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
               c. penelantaran;
               d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
               e.ketidakadilan
               f.perlakuan salah lainnya.
                Ketentuan yang sangat tegas tertulis  dalam pasal 13 ayat (1) ditegaskan  dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
               1)  Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
               2)  Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.[14]

             Dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada anak, takut karena sanksi hukumannya tidak ringan. Sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan secara umum. Hal itu terdapat dalam Pasal 351 jo. 352 KUHP.
            “Penganiayaan” masih terjadi, sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi, misalnya penamparan oleh oknum guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga menjadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi. Diberitakan, guru M dilaporkan ke Polsek diduga melakukan penganiayaan terhadap muridnya.
              Menurut penulis, tindakan guru menghukum murid, tidak salah seratus persen, wajar, tapi jangan menimbulkan memar. Guru memegang prinsip:yang salah harus dihukum.Tidak mungkin guru menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan diri murid. Muridpun merasa  benar. Buktinya, dibela dan guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada  masalah dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak.[15] Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa menampar siswanya. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng  hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.[16]
               Menurut penulis, UU. 23 tentang perlindungan anak ini, bisa menjadi penderitaan para guru di sekolah, karena guru tidak berani bertindak tegas kepada muridnya sendiri,  karena takut terkena sanksi dari UU. 23. Jika terkena Pasal 80 ayat (1)  ganti ruginya sangat besar. Inilah merupakan penderitaan bagi semua guru. Karena itu, ada guru memilih masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus,  tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar Rp 72 juta, akan memberatkan keluarganya.
           Analisis kasus, di sebuah sekolah menengah pertama, tentang siswa sedang berkelahi, guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswanya satu kali. Sang guru dilaporkan ke polisi, akibatnya, beberapa hari dimasukkan ke penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
            Guru- guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat semaunya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
            Menurut penulis, hukuman fisik, sebahagian bukan penganiayaan, ada  perbedaan pemahaman dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus di Institut Pemerintahan Dalam Negeri(IPDN), penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
              Penulis  tidak setuju jika hukumanmenempeleng ringan”, satu kali saja masuk kategori kekejaman (Pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (Pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan  di sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Hal yang menjadi persoalan, haruskah pelaku kekerasan ringan itu bisa dihukum, jika pelakunya adalah guru yang bertujuan baik,  menyadarkan murid akan kesalahannya.
          Melalui penelitian ini penulis dapat membuat konklusi[17] atau prediksi atau tesis sebagai berikut:
          Pertama, akan muncul peraturan tentang anak boleh memilih untuk ”tidak beragama,” atau pindah  agama(murtad), berdasarkan prinsip hak asasi anak,  kebebasan beragama dan berkeyakinan, karena dalam dokumen hak asasi manusia (HAM) internasional, secara jelas disebutkan dalam Pasal 18, bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama.  Hak ini mencakup kebebasan untuk „berganti agama“ atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum atau secara pribadi.“
              Hak anak untuk murtad, bersamaan dengan hak anak dalam keluarga,  memiliki keyakinan berbeda dengan orangtua. Di beberapa media masa, ditemukan ungkapan bagini “Saya remaja,15 tahun, berniat untuk memiliki keyakinan, agama yang berbeda dengan garis keturunan saya. Untuk merealisasikannya, saya harus keluar dari rumah karena tidak disetujui oleh orangtua. Orangtua memaksa untuk tetap memiliki keyakinan yang sama. Apa keputusan saya untuk keluar dari rumah demi mempertahankan keyakinan dapat dilindungi oleh hukum? Apa yang masih menjadi wewenang orang tua saya?”, demikian keluhan sebahagian anak.
            Untuk dapat pindah keyakinan dan dinyatakan sah secara hukum, ternyata tidak diperlukan syarat – syarat tertentu. Selama anak telah meyakini keputusan tersebut, maka dia  dapat melakukannya. Hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
           Pasal 28 E Undang-Undang Dasar(UUD) 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Selanjutnya, dalam Pasal 28 I UUD 1945 dinyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable human rights). Jadi, kebebasan anak untuk beragama adalah hak asasi Anda, termasuk untuk murtad, memilih agama baru, yang anak yakini.
            Kebebasan beragama juga ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“Undang-Undang 39/1999”) yang menyatakan, bahwa setiap orang, bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut penjelasan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang 39/1999, yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
           Mengenai wewenang orangtua, memang benar bahwa seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Akan tetapi dalam konteks kekuasaan orang tua, perlu diingat bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) membatasi usia anak dalam Pasal 47 ayat (1), yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Anak yang demikian berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan, sesuai dengan Pasal 47 ayat [2] UU Perkawinan.
            Dalam kasus ini, untuk saat sekarang ini, anak  yang  sudah berusia 18 tahun, artinya, sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua. Dengan demikian secara hukum  sudah dianggap dewasa dan karena itu sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa perlu izin dari orang tua, kecuali untuk melangsungkan perkawinan.
           Dalam Pasal  6 ayat (2) UU Perkawinan diatur bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua. Jika orang tua tidak menyetujui  perkawinan tersebut, maka anak dapat meminta izin dari Pengadilan dalam daerah tempat tinggal Anda. Pengadilan dapat memberikan izin menikah setelah mendengar pendapat dari orang tua, sesuai dengan Pasal 6 ayat [2] UU Perkawinan.Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (Pasal 19). Hal yang ditekankan pada  Pasal 19 UU Perlindungan Anak ini, bahwa setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.[18]

          Kedua, akan terjadi legalisasi anak durhaka.[19] Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya dan menghina guru, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI No.23 Th 2002? Tidak ada pasal yang mengatur hal ini. Orang hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Itulah sebabnya kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang  bagaimana hukuman terhadap anak? Apakah anak berbuat nakal, bahkan tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak? Kasus anak SD mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus Sekolah Menengah Kejuruan(SMK), siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak.
           Kritik penulis ialah perlu  ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri, di dalam UU No.23. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru. Penulis setuju dengan pendapat Al-Ghazali, bahwa para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.
                Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”

               Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
               Sudah merupakan kewajiaban guru, harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
             Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW.; maka ia tidak mencari upah, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”
            Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik  mengajar tidak hanya tujuan dari mencari upah, lebih dari itu,  berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupakan proses panjang,  menjadikan dirinya sebagai manusia sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar. Pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya pendidik melarang  muridnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan jangan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”

             Ketiga, akhlak dan moral semakin terpinggirkan. Prediksi ini dibuat berdasarkan analisis kenyataan bahwa  akhlak dan etik atau etika, semakin terpinggirkan di dalam  pendidikan di Indonesia. Pelanggaran etika bukan hanya dilakukan  siswa, bahkan kepala sekolah dan guru. Mahasiswa  pun telah melakukan tindak kekerasan yang menyebabkan kematian temannya. Pendidikan di sekolah telah terreduksi, menjadi penyampaian pengetahuan, tidak lagi mendidik watak atau karakter dan kepribadian. Mendidik bukan lagi sebagai seni yang dilandasi dengan hati dan kasih sayang. Yang selalu muncul adalah wajah seram yang siap memberi hukuman. Tindakan "bullying" sudah menjadi budaya di sekolah yang dilakukan guru maupun siswa tanpa merasa menyesal. Contoh siswa Sekolah Menengah Pertama(SMP) yang keluarganya miskin, ibunya diejek oleh teman-temannya diolok-olok dan dipermalukan sehingga  menderita batin (depresi). Peristiwa ini justru pada sekolah yang berlatar belakang agama,[20]mengindikasikan bahwa pendidikan etika tidak lagi menjadi landasan moral  pembentukan watak. Etika  telah terpinggirkan oleh dunia pendidikan yang hanya mengejar jumlah kelulusan akademis. .
             Kejadian lainnya, ada oknum  Kepala Sekolah mencuri soal Ujian Nasional, dan ada guru yang memberikan jawaban soal Ujian Nasional kepada siswanya, pengawas membiarkan siswa mempergunakan HP saat UN.[21] Editorial Metro Senin 23 April 2007 jam 19.40 menyebutkan dari hasil survai riset ditemukan sebanyak 70% peserta Ujian Nasional menyontek, karena guru pengawas dengan sengaja memberi kan peluang untuk nyontek. Berita jam 18.30 ,pada hari Selasa 24 April 2007 diberitakan  pengawas Ujian Nasional SMP di sebuah SMP memberikan peluang untuk berbuat curang  dengan cara mengawasi tidak ketat. Di Medan dilaporkan justru Kepala Sekolah menyuruh guru mendiktekan jawaban ujian (Air Mata Guru Bongkar Kecurangan. Dinamika Pendidikan No. 1ffh.XIV / Mei 2007 13 UN Medan.Kecurangan UN SMA dan SMP direncanakan sangat sistematis. Kompas,Jumat 27 April 2007). Ada guru olah raga yang menempeleng siswasiswanya karena tidak memakai seragam pakaian olah raga. Kejadian tragis di IPDN dengan terbunuhnya sejumlah mahasiswa IPDN karena tindak kekerasan yang terjadi di kampus. Siswa SD klas II meninggal dunia setelah dianiaya oleh 4 ( empat) temannya di kamar mandi sekolah.[22]. Masalah pelanggaran moral yang dilakukan para mahasiswa dan siswa di beberapa daerah juga semakin marak sebagaimana pernah ditulis dalam koran Jawa Pos.
           Di dalam lingkungan perguruan tinggipun tidak luput dari masalah pelanggaran etika akademik. Pada tahun 2000 Universitas Gajah Mada harus mencabut gelar doktor dari seseorang promovendus yang telah dinyatakan lulus ujian doktor.,karena materi disertasi yang diajukan ternyata karya milik orang lain dan dinilai sebagai perbuatan plagiat. Di Universitas Jenderal Soedirman juga  mengangkat seorang dosen yang  ijazah dan gelar kesarjanaan SI, S2 dan S3 nya palsu. Ijazah  yang diperdagangkan di dalam masyarakat, onisnya para pembeli adalah pejabat bupati ada anggota DPR. Gejala tersebut mengindikasikan pendidikan etika akhlak dan moral, berujung pada pelanggaran hukum. ,
           Institusi pendidikan yang seharusnya menanamkan dan mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai luhur sebagai nilai etika, pedoman moral justru berkembang ke budaya kekerasan yang mengarah pada sikap arogansi para siswanya. Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila tidak lagi mampu mewujudkan misinya dan berubah menjadi wahana penyampai pengetahuan dan bukan membentuk watak and sikap sebagai warga negara, pribadi dan warga masyarakat yang bersifat makluk individu sosial sekaligus. Penulis setelah mencermati kejadian-kejadian tersebut timbul pertanyaan apa yang salah dalam praktek pendidikan. Dalam konteks inilah kajian tentang tinjauan yuridis  hukuman fisik untuk disiplin pendidikan, serta pendidikan  etika yang disajikan.[23]

            Hukum jangan dipisahkan dari akhlak atau etika dimaknai sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Kata etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. 2) kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Menurut Bertens  etika mempunyai tiga arti, yaitu: pertama, kara etika biasa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
          Dalam arti ini etika bersifat relatif di dalam suatu daerah. Misal apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok belum tentu baik oleh kelompok lain meski mereka berada dalam suatu daerah atau wilayah yang sarna karena beda suku atau agama dan kepercayaan.  Contoh adat kawin lari yang masih terdapat disebagian desa di propinsi Bali, oleh mereka yang menganut agama non Hindu, dianggap tidak baik. Demikian pula kawin siri yang oleh suatu kelompok Islam diterima baik, tetapi oleh kelompok lain yang berbeda kepercayaan akan dianggap tidak baik.Dengan demikian akan terdapat etika berdasarkan atas suku, agama dan kepercayaan yang menyatu di dalam suatu sistem nilai, seperti adat istiadat Jawa,[24] Sunda, Bali , Suku Badui dalam, suku Dayak ,Etika Kristen, Akhlak / etika Islam , ada tasawuf.. Kedua, etika berarti juga  kumpulan asas atau nilai moral.[25]
                 Kumpulan nilai moral yang kemudian dijadikan dasar bertindak/berperilaku bagi anggotanya ini yang kemudian menjadi kode etik. Seperti kode etik guru, kode etik dokter, kode etik paramedik, kode etik hakim, kode etik peneliti dan lain sebgainya. Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk yang sam artinya dengan filsafat moral karena berkaitan dengan asas-asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk. Dalam kajian ini etika ditekankan pada arti nilai-nilai dan norma-norma etis yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya di dalam berkehidupan bermasyarakat. Di dalam kehidupan sosial bermasyarakat warga dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya sebagai aturan, tata nilai, larangan (tabu) serta pantanagn. Semakin kompleks kehidupan masyarakat semakin banyak aturan adat , larangan (tabu) serta pantangan yang diperuntukan bagi warganya.
               Murid  yang akan menjadi warga dewasa penuh dari suatu masyarakat dan sebagai warga negara serta warga dunia harus belajar  memahami,  melestarikan nilai-nilai luhur yang dianut  masyarakat dan bangsa serta dunia agar dapat hidup damai, bertoleransi dan saling mengharagai. Intemalisasi nilai dalam diri seseorang dapat terjadi secara intensif lewat pendidikan apabila direncanakan dan dilakukan secara kontekstual sesuai dengan lingkungan hidup para siswa. Siswa tidak hanya tahu tetapi akan memahami makna nilai dan akan menrima sebagai nilainya sendiri serta akan menerapkan di dalam kehidupannya sebagai acuahn berperilaku atau bertindak.[26]
             Jika siswa  memasuki dunia kerja profesional, akan diikat dengan hukum dan  kode etik profesi yang  dijadikan acuan di dalam melaksanakan pekerjaan atas profesinya. Di dalam pergaulan sosial, seseorang juga dituntut untuk berperilaku sesuai dengan etika[27] yang ditetapkan. Ada aturan yang  sederhana, dalam jamuan makan intemasional, ada aturan pakaian dan cara berpakaian, tata cara makan, cara mempersilahkan makan, cara mengambil makanan, meminta makanan juga cara memegang sendok dan pisau makan, cara minum untuk berkunjung dan  lainnya. Kursus etika cara makan, disebut "table manner" yang biasanya diberikan kepada para calon diplomat dan istrinya sebelum berangkat untuk bertugas di luar negeri. Seseorang yang hidup di dalam masyarakat yang memilki peradaban harus  menerapkan nilai-nilai yang berlaku  selama dia hidup dalam lingkungan  di mana ia  tinggal.

             Menurut penulis, hukum perlindungan anak saja, tidak cukup  untuk melindungi anak. Hukuman disiplin pendidikan saja juga tidak cukup. Seharusnya lebih diutamakan akhlak dan etika. Hal ini  dapat dirumuskan dalam berbagai bentuk sesuai dengan sudut pandang dan konteks yang  dipakai. Rumusan hukum formal yang tertulis di dalam penejelasan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa, pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan  atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat." Sedang fungsi pendidikan dikatakan,  mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
          Keempat,semakin banyak ketentuan Hukum agama yang sakral, justru dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan tidak manusiawi, misalnya memukul anak yang melalaikan salat, larangan homo dan lesbi dan larangan minuman keras, bahkan termasuk poligami. Rumusan dari sudut pandang filsafat sebagaimana dikemukan oleh Driyarkara pendidikan adalah "memanusiawikan manusia", bukan sekedar membantu pertumbuhan secara fisik, tetapi keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan manusia yang memiliki peradaban.[28]Masa belajar manusia untuk berkembang menjadi dewasa dalam arti pribadi yang utuh memerlukan waktu yang lebih panjang. Proses belajar terjadi sepanjang hidupnya, sejalan dengan dinamika  masyarakat yang terus berubah dan berkembang. Proses belajar dapat terjadi dalam lingkungan pendidikan formal dan  non-formal (pendidikan-pelatihan dan kursus) serta pendidikan informal yang terjadi di dalam keluarga maupun masyarakat, seperti dalam home schooling yang saat ini mulai marak di kota-kota besar.

           Menurut penulis, jika dikaji kembali konsep dan fungsi hukuman fisik dalam pendidikan yang dinginkan untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Membentuk individu maupun warga bangsa Indonesia, yang diharpakan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Harus sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk beriman dan bertakwa dan berakhlkak mulia, mempelajari dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan atas dasar etika agama, serta etika universal.
            Dalam hukum Islam, terdapat ajaran boleh dan tidak boleh dilakukan,  perbuatan  baik dan  buruk, dan  pantas dilakukan dan tidak pantas dilakukan di depan umum. Istilah halal dan haram, wajib, sunnah dan tidak boleh dilanggar. Di dalam ajaran  Nabi Musa ada yang disebut 10 ( sepuluh) perintah Allah yang ditulis dalam dua buah batu log .Selain nilai-nilai yang bersumber dari kitab suci, ada nilai-nilai adat yang diterima dan diakui oleh masyarakat intemasional, misalnya HAM yang tertuang dalam perjanjian Jenewa tahun 1948.
           Kelima, semakin runtuhnya wibawa orang tua dan guru.Mengingat orang tua dan guru tidak dapat lagi memberikan hukuman kepada anak, karena telah terjadi kriminalisasi tindakan guru yang menegakkan disiplin, diperkirakan wibawa mereka akan runtuh. Anak mencari dunianya sendiri, bisa terjebak ke dalam nilai-nilai baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Nilai-nilai baru,  bisa juga muncul dengan adanya profesi baru yang diakui oleh masyarakat yang menuntut perilaku tertentu di dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Kumpulan nilai-nilai ini kemudian dirangkum menjadi kode etik profesi. Sekalipun secara jelas disebutkan di dalam Undang-Undang No:20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) , Bab II Pasal 318 , dalam Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1/ Th. XIV / Mei 2007 salah satu tujuannya disebutkan "berakhlak mulia", namun dalam kenyataannya tujuan belajar dan pembelajaran diredusir dan difokuskan ke penguasaan pengetahuan untuk kepentingan ujian nasional maupun ujian sekolah sebagai syarat lulus. Hasil pendidikan hanya diukur dari banyaknya siswa yang lulus ujian dan nilai yang diperoleh dalam ujian. Tujuan- tujuan lain tidak pemah diukur secara sungguh-sungguh. Pencapaian akhlak mulia hanya diukur dari aspek pengetahuan dalam ujian sekolah dan difokuskan pada pengetahuan agama yang diikuti siswa dalam belajar. Oleh karena itu pengukuran dan evaluasi hasil proses pendidikan perlu ditinjau ulang
          Proses intemalisasi akhlak dan etika dalarn diri siswa tidak dapat dilakukan secara instant, namun melalui proses sejalan dengan perkembangan jasarnani dan rohani siswa. Proses intemalisasi dimulai dengan pengenalan nilai-nilai di dalam keluarga oleh orangtua maupun sanak famili yang serumah. Jika anak sudah bergaul dengan lingkungan sosial- masyarakat sekitar ia akan berkenalan dengan berbagai nilai di sekitarnya. Dan jika ia sudah bersekolah pengenalan nilai-nilai akan sernakin banyak dan beragam yang dibawa oleh teman-teman, guru dan juga orang lain yang hadir di sekolah. Jika ia sudah mulai tertarik nonton televisi, rnaka ia juga akan berkenalan dengan nilai yang ditawarkan dan disampaikan oleh para artis-selebritis melalui adegan-adegan yang dibawakannya, selain lewat promosi atau iklan yang ditayangkan. Nilai-nilai yang diterima siswa ada yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dikenalkan di rumah dan di sekolah
          Terhadap rnasuknya nilai tersebut mungkin diterima melalui saringan atau filter orangtua dan guru, tetapi juga ada nilai yang diterirna tanpa filter. Pertentangan nilai dalarn diri siswa dapat menyebabkan siswa memiliki standar ganda. Di rumah dan di sekolah siswa kelihatan alim, sopan, baik dan takwa, tetapi di luar, jika sudah bergabung dengan kelornpoknya, gengnya, akan berperilaku  berbeda. Ana bisa mengkonsumsi minuman beralkohol sampai mabuk, pesta    narkoba bahkan pesta seks. Sering diberitakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap rumah kos, ada  pesta mabuk-mabukan, narkoba dan seks terjadi , dan ternyata pelakunya anak yang  belum berumur 18 tahun, atau siswa yang masih belajar di Sekolah Menengah.
           Keenam, akan banyak muncul penafsiran ulang terhadap  ketentuan Hukum Islam yang berkaitan dengan hak asasi kebebasan anak, tapi penafsirannya lebih banyak yang berbeda dari ketentuan fiqih yang sudah ada, bahkan ada yang sama sekali tidak dikenal dan tidak diperkenankan sebelumnya. Metode penafsiran baru, yang saat ini saja, sudah banyak dibicarakan bahkan diperdebatkan oleh para ahli Hukum Islam maupun ahli Filsafat Hukum Islam misalnya hermeneutika. Hermeneutika itu sendiri dalam sejarahnya merupakan metode filsafat yang pada awalnya berkembang dalam penafsiran Kitab Injil/Bibel. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu objek perdebatan di kalangan ahli Hukum Islam dan Filsafat Hukum Islam, terutama dalam penggunaan metode ini dalam penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hermeneutika dianggap telah berhasil meng-obrak-abrik Bibel, sehingga ada semacam kekhawatiran bahwa hermeneutika akan meng-obrak-abrik Al Qur’an juga, diakibatkan oleh adanya perbedaan pandangan penafsiran yang mungkin timbul karena kuasa bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Amin Abdullah bahwa satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun adalah suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (divine instruction) selalu bertumpu pada teks (Kitabah, qawliyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara bahasa (lughah).
          Ketujuh, makin tersalurkannya keinginan anak untuk lebih cepat bebas dari kendali orangtua yang mendapat legitimasi dari undang-undang dan aturan lainnya. Puncak dari keinginan anak untuk bebas, ada semacam pengakuan dari sebait kata yang
diungkapkan oleh Kahlil Gibran bahwa,[29] anakmu adalah anak masa depan. Putra-putrimu, “bukan milikmu.”Masa depannya tidak bisa kamu hayalkan, di dalam mimpi sekalipun. Akan tetapi penulis tidak setuju dengan pesan dari ungkapan ini, memberikan gambaran seakan-akan orangtua tidak berhak mewarnai masa depan anaknya.
          Murid atau anak yang selalu membangkang, disebut durhaka. Suatu sikap yang sangat dipantangkan dalam kehidupan:
           Wahai ananda kekasih ibu
           Hormati ibu bapak dan gurumu
           Tunjuk ajar  diingat selalu
            Bahagia kelak  dalam hidupmu.[30]


        [1]Anak sekolah membolos apa hukumanya?  Paling tidak, pemanggilan orang tua murid ke sekolah dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos sekolah, orang tua dipenjarakan. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun lalu di mana 11.188 orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial, dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.

               [2]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta, 2002),  hlm. 133.
                [3]Pemerintah RI, Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, ( Fokusindo Mandiri, Bandung: 2012), hlm. 152.
                 [4] Lihat Menanti Buah Hati, hlm. 347-348
                   [5] Lihat Ensiklopedi Adab Islam (I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2586, 2587  dan Muslim  no. 1623, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu
                   [6] Qs. Al-Anfal: 28
                  [7] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari  no. 1418, 5998) dan Muslim  no. 2629
               [8] Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa'u Ghalil, no. 247).  Ibnu Qudamah  berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357): "Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh." 
               [9] Fatawa As-Subki, 1/379
               [10] HR. al-Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222
                 [11] Lihat Al-Suyuthy Imam Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abubakar, Al-Asbah wan Nazha’ir fi al-Furu’,.Kaedah kelima, (Semarang, Karya Toha Putera: Tth), 83.
               [12] Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).Lihat Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),21-26
[13] Hasbi Asshiddieqy (editor) Op.Cit. QS. Al- Syura (42) : 38

             [14] Pemerintah RI, op.cit.,hlm 67
            [15] Ibid
            [16] Di dalam QS. Shad: 41-44 dinyatakan bahwa Nabi Ayub  menyeru Tuhannya, bahwa dirinya diganggu setan dengan   siksaan.' Kemudian Allah anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya   sebagai rahmat dari  Allah,. Belaiau dengan di  tangannya ada  seikat (rumput), maka memukul   isterinya  dengan itu dan jangan  melanggar sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (hepada Tuhannya)."   
             [17] Tesis merupakan bukti kemampuan yang bersangkutan dalam penelitian dan pengembangan ilmu .dalam penelitian kualitatif atau nalar induktif– nonhipotetikal.
              [18] Pemerintah RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Hukum Perlindungan Anak.
Lihat juga Bagir Manan, Restoratif Justice (suatu Perkenalan), dalam Refleksi Dinamika Hukum RangkaianPemikiran dalam dekade terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI 2008), hlm 4.
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom,  Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: Rajawali Press 2007) hlm. 165.John Dussich, Concepts and Forms of Victim Services,  makalah yang dipresentasikan pada 11th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance, Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesi, Depok 18 – 29 Juli 2011.
Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, hlm 164-165.
             [19] Ibid
              [20] Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1 / Th. XIV / Mei 2007), hlm 12
                 [21] Ibid hlm, 14
                 [22] Metro TV  Disiarkan  di beritakan ulang jam 18.30 oleh Metro TV hari Jumat 4 April 2007
          [23] Marijan, Menghukum Peserta Didik  Ala Ki Hajar Dewantara, (Yogyakarta : Wates Kulonprogo, 2014), hlm 217, bahwa  FX Sajiyanto,dalam makalahnya berjudul “ Bolehkah Guru Menghukum Murid ?” pada majalah Candra edisi VI 2004 terusik  untuk melengkapinya. Dari simpulan yang ditulis sekaligus merupakan jawaban atas judul artikelnya memperbolehkan guru menghukum  peserta didiknya asalkan dengan bijaksana. Hukuman bijaksana dimaksud di atas adalah tidak menerapkan hukuman fisik pada daerah organ-organ penting  (dada, perut, dan kepala). Oke, penulis sangat setuju dengan pendapat tersebut.

             [24]Op.Cit  ( No. 11Th.XIV / Mei 2007), hlm 15
              [25] Marijan, loc.cit.  Apabila    sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan  niscaya   perilaku siswa akan lebih  semrawut.  Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik , bagaikan halilintar di waktu mareng , banyak yang menyepelekan.
            [26]  Ibid, hlm16
            [27] Mulyasa, Sanksi Pelanggaran Kode Etik (Jakarta: Rajawali Press, 2007),hlm 46, menjelaskan, bahwa sanksi pelanggaran kode etik tersebut adalah sebagai berikur :1.Sanksi moral, berupa celaan dari rekan-rekannya. Karena pada umumnya kode etik merupakan landasan moral, pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan. 2.Sanksi dikeluarkan dari organisasi, merupakan sangsi yang dianggap terberatKode etik keprofesian memiliki kedudukan, peran dan fungsi yang sangat penting dan strategis dalam menopang keberadaan dan kelangsungan hidup suatu profesi di mata masyarakat, dan bagi para pengemban tugas profesi akan menjadi pedoman dalam bertindak serta acuan dasar dalam segala bentuk keprilakuannya dalam rangka memelihara dan menjunjung tinggi martabat dan wibawa serta kredibilitas visi,misi dan fungsi bidang profesinya.
               [28] Op.Cit, (No. 1fT'h,XIV/ Mei 2007), 17.  
         [29]Kahlil Gibran,  On Children. (Jakarta: Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Indonesian Heritage Trust, 2011), hlm 89.
Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
         [30] Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas,(AdiCipta Karya Nusa, Balai Kajian Dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta: 2006), hlm 321

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook