Wednesday, December 30, 2015

HUKUM HUKUMAN DI DUNIA PENDIDIKAN



   GHAZWUL FIKRI  KE- 5 HUKUM HUKUMAN DI DUNIA PENDIDIKAN

           Dr. M.RAKIB SH.,M.Ag.Drs.  Widyaiswara Ahli Muda LPMP  Riau Indonesia 
          Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI), menggunakan dasar undang-undang(UU) No. 23 Tahun 2002(UU No.35 Tahun 2014), bahwa definisi anak pada Pasal 1  adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Artinya, sebelum berusia 18 tahun, anak tidak boleh dijatuhi sanksi pidana dengan pemenjaraan. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, ada suatu pandangan tentang fenomena kejahatan anak yang menarik untuk dikaji.  Pandangan ini memberikan solusi yang tuntas terhadap permasalahan kejahatan anak, yang secara otomatis akan menghentikan kontroversi hukuman pidana pada anak.  Pandangan tersebut adalah pandangan hukum Islam.
               Kejahatan dengan pelaku anak didominasi oleh tindak pencurian, disusul kemudian oleh kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencabulan, dan pembunuhan(kapanlagi.com). Sebagian pihak menuding bahwa penyebab dari kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Tidak dapat dimungkiri bahwa kemiskinan dan kerusakan moral menjadi pemicu munculnya banyak kejahatan anak.  Namun perlu kita pahami bahwa kemiskinan dan kerusakan moral hanya merupakan fakta  akibat. Selama kita hanya terpaku pada fakta dan memecahkan berdasar fakta, maka penyelesaian yang kita dapat hanya penyelesaian yang bersifat parsial dan tambal sulam.  Untuk mendapat pemecahan yang tuntas, kita harus menengok lebih dalam, mengapa ada kemiskinan dan kerusakan moral?
             Kemiskinan dan kerusakan moral adalah hal yang pasti muncul dalam penerapan sistem kapitalis-liberal yang dianut Indonesia.  Sistem kapitalis ditandai dengan menyerahkan pengelolaan kekayaan sumberdaya alam dan distribusinya kepada individu.  Individu yang mampu memiliki akses terhadap sumberdaya akan terpenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan yang tidak memiliki akses tidak akan mampu memenuhinya.  Sistem ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara pemilik akses dengan yang tidak memilikinya. Muncul kemudian kemiskinan yang tersistematis, diikuti dengan kecemburuan sosial yang besar karena pameran kekayaan dijadikan komoditas di berbagai media massa.
              Kapitalisme umumnya disertai  liberalisme dan sekulerisme.  Pemisahan agama dari kehidupan akan mencabut nilai-nilai moral.  Ditambah dengan paham kebebasan bertingkah laku, mengakibatkan norma-norma agama semakin terpinggirkan.  Padahal, kekuatan ruhiyah yang lahir dari pemahaman terhadap agama adalah satu-satunya motor penggerak penerapan moral.  Memberikan pendidikan moral budi pekerti tanpa membangkitkan kekuatan ruhiyah, ibarat mendorong mobil yang rusak,  lelah tanpa hasil.
              Dengan mencermati akar permasalahannya, dapat katakan bahwa munculnya kejahatan anak-anak(delinkuensi) akibat kesalahan dalam memilih sistem yang diterapkan.  Anak hanya menjadi korban. Penulis tidak setuju dengan defini anak dalam UU No. 23 tahun 2002 yang menyatakan, bahwa anak-anak ialah yang belum berumur 18 tahun. Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang hukum kepada anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
            Hukum Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh.  Huzaemah T.Yanggo dalam bukunya Fiqih Anak, menyatakan bahwa istilah  al-bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak.  Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al-ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid.  Rasulullah  bersabda bahwa  pena -pencatat amal- itu diangkat  dari orang yang tidur sampai ia bangun,  anak kecil sampai ia dewasa (yahtalima), orang gila sampai ia sadar.” [1] Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam).  Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan tersebut.  Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
           Dengan pemahaman pengertian dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, sehingga siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya saat baligh.  Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak usia 18 tahun.  Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak, di satu sisi saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga secara biologis ia dewasa, namun ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya tersebut, sehingga secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang.  Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
           Islam memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak, tercermin dari banyaknya hadist yang memerintahkan mendidik anak secara rinci.  Pendidikan anak dimulai dari rumah oleh orangtua, disertai pembentukan lingkungan yang kondusif oleh masyarakat dan didukung oleh aturan-aturan negara yang menjamin anak memperoleh pendidikan berkualitas. Islam juga menciptakan suasana kondusif yang mendukung pendidikan anak.  Islam mewajibkan orangtua memberikan nafkah pada anak sehingga anak tidak harus menanggung beban hidup keluarga.  Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja agar orangtua dapat mencari nafkah untuk anaknya.
               Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa.  Negara menjaga agama, menjaga moral dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti peredaran minuman keras, narkoba, pornografi. Dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna, kejahatan anak akan dapat dihilangkan.  Yang tumbuh adalah anak-anak berkualitas, yang akan menjaga eksistensi umat umat terbaik. Anak adalah amanah Allah QS. An-Nisa’ (4):58 yang  menyatakan bahwa  Allah mewajibkan manusia, menyampaikan amanah dan berkewajiban berlaku adil. Maksudnya Allah SWT.,menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab adalah perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya, termasuk yang diperintahkan juga adalah menghukum dengan adil antara semua manusia dan Allah adalah sebaik-baik pemberi pengajaran akan keadilan. Maka hendaklah orang beriman menjadikan keadilan Allah sebagai standar, bukan yang lainnya di dalam melaksanakan hukum, sementara Allah tetap mengawasi dan memperhatikan bagaimana  melaksanakan perintah-Nya.
            Pendidikan adalah amanat” di sini ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah, termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil, berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul.  Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat bisa berarti kesanggupan  menegakkan dien, sebagaimana disyaratkan Surat Al-Ahzab:72, yang berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak, untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam masyarakat.[2] Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[3]
5. Pembuat Hukumnya Berbeda
         Pembuat hukum ( al-hakim ) atau Syar’i yaitu Allah sendiri, maka hukum Islam, merupakan titah Allah. Sedangkan hukum positif(UU No.23 Tahun 2002) dibuat oleh badan yang berwajib sebagai representasi masyarakat di mana hukum itu berlaku. Dalam perspektif sejarah hukum Barat, di abad pertengahan berkembang hukum agama seperti hukum Islam dan hukum agama lainnya. Pada masa ini yang berlaku adalah hukum Tuhan ( kedaulatan Tuhan ). Hukum agama ini yang bersumber dari wahyu. Dalam perkembangan zaman selanjutnya muncul pandangan bahwa hukum itu, dari Raja atau kedaulatan negara, kemudian masa Renaissance bahwa hukum adalah kedaulatan rakyat, sampai abad XIX muncul pandangan positivisme yuridis bahwa hukum sama dengan undang-undang .
              Adapun konsep hukum positif yang dianut Indonesia merupakan adopsi dari konsep hukum Barat Modern yang telah mengalami perubahan dari masa ke masa tersebut, misalnya teori yang diungkapkan oleh Aritoteles mengenai konsep keadilan[4], ada dua macam, pertama  distributive dan kedua commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaslahatan menjadi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh sampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia, dengan adil. Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan, hal itu diperbolehkan, tetapi kalau  alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaannya tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat, tidak diperbolehkan pula. Kemudian h soal pembagian zakat, pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat, dibandingkan  rakyat yang lebih memerlukan.[5]
           Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat,  itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itulah yang harus disingkirkan.[6]Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Di antara kaidah-kaidah yang diperlukan berbunyi; ikhtiyarul amstal fal amtsal (memilih yang representative dan lebih representative lagi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya kebutuhan masyarakat yang  banyak, mana yang lebih representatif untuk dilaksanakan dan diprioritaskan.
           Di samping mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka pada dasarnya terdapat faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap itercapainya sebuah maslahat. Di antaranya adalah factor mekanisme system kekuasaan dan jalannya pemerintahan yang sistematis. Dalam fiqh siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[7] Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al- hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al- muraqabah).[8]
               Mengenai permasalahan ini, dalam hukum Islam terdapat kaidah yang  menyatakan:  al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga  khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembaga  umum, misalnya, camat lebih kuat kekuasaanya dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya dalam kaidah inti ini, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan.[9]
                Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Dalam sebuah system hukum,  ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas. Kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama, dalam mengambil setiap kebijakan?

6. Sanksi Dunia Akhirat
            Hukum Islam, sanksinya ada di dunia, ada pula di akhirat, sedangkan sanksi hukum Barat, hanya di dunia saja.  Hukum Islam merupakan hukum agama dan hukum moral atau mempunyai nilai moralitas.[10] Norma hukum bukan hanya merupakan perintah saja, melainkan mempunyai nalar-nalar tertentu, yaitu penilaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap tingkah laku dan perbuatan orang. Adapun penilaian tersebut tidak berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari ide yang lebih besar yaitu bagaimana yang masyarakat inginkan. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli, bahwa hukum merupakan alat untuk mengatur masyarakat ( law is tool of social engineering ). Dari paparan tersebut dapat dinyatakan bahwa  di dalam norma hukum, terkandung dua hal yaitu patokan penilaian, di mana hukum menilai kehidupan masyarakat dan menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik. Kemudian patokan tingkah laku atau petunjuk tentang perbuatan mana yang harus dikerjakan dan yang harus ditinggalkan, lebih konkritnya lagi, para ahli hukum perlu melakukan analisis.
              Perlunya, analisis konsep, misalnya konsep maslahat hukum ,menurut beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah disampaikan oleh banyak pakar di bidangnya, tetapi karena batasan yang ada, maka dalam disertasi ini,  kajian  difokuskan pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan beliau tentang konsep maslahat adalah:
            a. Pengertian Mashlahat
Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibuat untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya  manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan.[11] Pengertian   Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun Bi al- Maslahah. Masalahat, berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat.
Kemudian maslahat itu terbagi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[12] Berlakunya Mashlahat dalam lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nash, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum dharury yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat.
            Jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, bisa dilakukan antara dalil dan maslahat itu sesuatu paduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah SAW. bersabda, la darara wa la dirara. Makna nya khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat, memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.[13]
           Al-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenisnya, bukan pada masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa, karena, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Misalnya, pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof  telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at,  tentulah Allah amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan.[14]

Apakah hukuman fisik bagi anak,[15] mengandung kemaslahatan, dan membawa manfaat bagi kehidupan remaja, sedangkan mafsadah mengakibatkan mudharat bagi kehidupan.[16] Apa yang disebut dengan maslahat, perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut:
              1) Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al- syari’ah, dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan Al- Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
              2) Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
              3) Kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
              4) Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan dan pilih yang terbaik di antara yang baik.[17]

        b.Kemaslahatan dan batasannya
Para ahli ushul fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah melestarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.

7. Hukum Islam Bersifat vertikal dan Horizontal
           Hukum Islam, bersifat vertikal dan horizontal, sedangkan Hukum Adat dan Hukum Barat ruang lingkup keduanya hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta penguasa dalam masyarakat.Tetapi Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antar manusia saja melainkan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta.Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
            1) Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
            2) Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
            3) Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
            4) Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
            5) Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau   maslahat yang sejajar dengannya.[18]

Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum). Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai  batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam ber-istinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan, setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[19] Hukum  tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Karena maslahat pada dasarnya merupakan makna umum yang secara implisit berada di balik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.[20]
  Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan yang ditarik dari pemahaman nash Al-quran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang  penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang akan datang.
Bertolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.[21]
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
8. Perbedaan Kaedah Hukumnya.
Kaedah Hukum Islam ada 5 ketegori, yaitu halal, haram, sunnat,makruh dan mubah, sedangkan pada Hukum Barat hanya dua, yaitu perintah dan larangan, yang dituangkan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan itulah yang di dalam Hukum Islam harus mengandung “maslahat” yang menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antara syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Di antara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari Najmuddin At- tufi. Dalam pemikirannya,  berpendirian bahwa mashlahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nash atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan. Maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara' lainnya.
Maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadits serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
            Ada metode lain di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama yaitu metode sadduzzari’ah yang meliputi dua hal, yaitu sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.[22] 
          Menurut penulis UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memuat pasal-pasal yang sejalan dengan Sadd al-Zari’ah, karena  merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak.[23] Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI), seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
             Adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) dan UU Perlindungan Anak, secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU. Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
             Perlakuan  terhadap guru, sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
            Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada Komite Perlindungan Anak Indonesia Daerah.(KPAID). Dengan kekuatan tersebut, guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[24]
             Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud perlindungan profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
                Eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan tengah perlu diciptakan.[25] Ahli hukum, tidak  mungkin, mengabaikan tindakan oknum guru yang kurang mendidik, dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka bisa saja, meletakkan peserta didiknya sebagai “penjahat” yang melakukan tindak pidana, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua yang mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru.       Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan kenyamanan dan perlindungan yang diberikan.
9. Sumber Hukum Dari Hukum Yang Tidak Tertulis
            Menurut penulis, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghukum murid yang bersalah. Pertama, memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman fisik, tidak pada tempat yang vital. (2) Hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) Hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[26] Sanksi hukum terhadap guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya:
(1)   Diberlakukan qishash
            Dalam hukum Islam, orang tua, guru atau orang dewasa  yang melanggar hak anak-anak, berupa memukul atau menzalimi,[27] sebahagian ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukuman  qishash. Ada ungkapan yang menyatakan, jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa, atau gila, tidak diberlakukan. Dalam hal orang dewasa, ditunda sampai anak yang belum dewasa. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan hukuman qisash   menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas  dilaksanakan oleh qadhi (hakim) yang mewakili mustahiq tersebut. Menurut Malikiyah pelaksanaan hukuman qisash tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena qishash itu tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untuk menghilangkannya tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [28] 
          (2) Didenda             
           Diat atau denda dalam Hukum Islam, dapat dikenakan kepada guru yang menghuku murid secara zalim. Apabila dibandingkan dengan hukuman terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran  hukum  pada Pasal 77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:  (1) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau  (2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[29]
           Menurut Al-Gazali, menghukum anak saat dia melakukan kesalahan, apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapkan rahasianya itu, mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi[30] kesalahannya.
           Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan,[31] bukan seorang tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan bukan pula seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk membahayakanmu.[32] Namun ia adalah bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang lemah dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan maaf darimu. Tentang hal  ini, terdapat kesamaan antara UU. RI Nomor 23 Tahun 2002  dan Hukum Islam.

Tabel  IV.4
Sisi Kesamaan Antara Hukum Perlindungan Anak RI Dan Hukum Islam Tentang Hukuman Fisik Terhadap Anak

No
Hukum Perlindungan Anak RI
Hukum Islam
1
Penegakkan asas perlindungan anak
Penegakkan asas perlindungan anak
2
Dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman
Dapat diubah sesuai dengan tuntututan  zaman.
3
Diawasi oleh negara dan masyarakat
Diawasi oleh negara dan masyarakat
4
Anak-anak ialah orang yang berumur di bawah 18 tahun
Anak-anak ialah  orang yang berumur di bawah 15 tahun
5
Bukan delik aduan
Bukan  delik aduan
6
Mengandung prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
Mengandung prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
Keterangan tabel   3
             Pada baris pertama, diterangkan tentang penegakan asas perlindungan anak-anak dari ketidaknyamanan akibat perbuatan orang tua, guru, orang dewasa, bahwa di antara sesama temannya sendiri. Kemudian  pada baris kedua, dinyatakan bahwa UU I Nomor.23 tahun  2002  dan hukum Islam sama-sama dapat diubah, sesuai dengan tuntutan zaman.[33] Selanjutnya, dikatakan: Lihatlah diri anda. Anda adalah orang dewasa yang berakal dan pemimpin yang diamanati Allah untuk memelihara seorang anak yang tidak memiliki apa-apa. Tidakkah anda merasa malu apabila sering memarahi da memukul anak anda padahal dirimu yang sempurna dan berakal sempurna masih sering berbuat kesalahan, baik di hadapan orang tua, mertua atau guru?” demikianlah penuturan Abdur Rohman al Buthoni dalam pembahasan tentang : Bilakah anak harus dipukul?
          Terkadang guru dan  orang tua, dihadapkan pada kondisi di mana anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan jengkel. Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan kepada mereka, mulai  dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras. Memang Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua memukul anaknya sebagaimana hadits (artinya): Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan sholat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika berusia 10 tahun.[34]  Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk mengamalkan hadits di atas? Ayah dan Ibu  serta guru-guru. Selanjutnya tentang masalah ini  Abdur Rohman al Buthoni menurunkan sebuah analisis:
     10. Berbeda Kakteristik
      a. Karakter Ilahiah 
             Karaktristik Hukum Islam ialah karakter Ilahiyah, atinya pelaksanaan perintah dari Allah. Pada hakekatnya memukul anak yang tidak salat, adalah atas perintah Allah.
Berarti orang tua atau guru, meyakini bahwa “memukul” adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian perasaan, emosi dan rasa kesal yang berlebihan yang biasanya mendominasi sikap orang tua akan hilang ketika menerapkan metode ini.[35] Maksud dari memukul adalah tarbiyah/pendidikan untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah, menakut-nakuti, mengancam atau yang setara. Pukulan harus dilakukan dengan rasa cinta kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
b.      Berkarakter ketaatan mutlak
            Hukum Islam berkarakter ketaatan mutlak, sakral dan suci yang di dalamnya ada dorongan rohani untuk mengamalkannya. Berbeda dengan Hukum Adat,[36] yang pada umumnya tidak tertulis, namun Hukum Islam dapat dapat menerimanya, selagi tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan hadits. Faktor ketaatan kepada agama, menjadi sebab memukul anak-anak meninggalkan shalat. Penyebab selainnya, apabila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul, dengan syarat:
1)      Tidak menyiksa
                Tidak boleh menyikasa dan tidak menyakitkan, serta jangan memukul wajah.
    2)  Hindari Riya’ Dan Sum’ah (pamer)
           Riya’ dan  sum’ah wajib dihindari, karena sebagian orang tua yang berkeliling dengan tongkat mencari anaknya, dalam keadaan marah dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan menghukum anak. Ini  perbuatan salah dan merupakan amal yang sia-sia.
            Penemuan yang penulis dapatkan, berupa makna hukuman fisik ialah berupa pemukulan rigan, maksudnya  sebagai obat,[37] karena itu dosisnya harus disesuaikan kadar obatnnya dengan penyakit, tidak boleh melampaui batas. Artinya, memukul satu kali dan tidak boleh berkali-kali sehingga menyiksa. Pemukulan dengan pelan, tidak menyakitkan, dengan tangan biasa tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula meninju atau bukan menempeleng kepala.
           Hukuman fisik menurut penulis bagian kajian fiqih, termasuk saddu al-Dzari’ah. Karena memukul anak yang tidak salat atau karena berulang kali melanggar aturan disiplin sekolah, merupakan upaya menolak dan mencegah kenakalan, keburukan(dar’al-mafasid).Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
            Hukuman fisik terhadap anak, bagian dari Sadd al-Zari’ah. Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama juga fath al-dzari’ah. Metode  ini, merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang sepanjang pengetahuan penulis tidak dimiliki oleh agama-agama, selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. Tentang analisis kata “memukul” dalam Islam, penulis temukan ada tiga macam, yaitu memukul anak karena menghinanya, memukul karena marah, memukul karena ingin memperbaiki anak.
             Menurut penulis, memukul anak, dengan cara yang benar, merupakan bagian dari saddu al-zari’ah. Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dewasa, tetapi juga yang belum dewasa. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah).
           Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd al-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.[38]
              Pada awalnya, kata al-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu.  Unta dilepaskan oleh pemburu  mendekati binatang liar yang  diburu.  Pemburu berlindung di samping unta agar tidak terlihat. Ketika sudah dekat dengan yang diburu, pemburu melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata al-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
                   Secara terminologi Menurut al-Qarafi, sadd al-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.[39] Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. 
            Dari beberapa contoh pengertian di atas, jelaslah bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit al-dzari’ah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan al-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang.  Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan terhadap  perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Kemudian ulama yang menolak saddu al-Zara’i ini adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.[40]
           Kedudukan saddu al-zari’ah, sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.[41] Dalilnya di dalam al-Quran.[42]   Ada ayat yang melarang mencaci maki Tuhan agama lain. Hal itu disebut al-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan  mencaci Tuhan lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah)Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.[43]
          Pada surah al-Baqarah ayat 104 bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek,[44] dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’ina, sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzari’ah
          Kaidah Fiqhiyah, juga termasuk sumber sadd al-zari’ah. Di antaranya  kaidah fikih  berikut ini :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)[45]
            Kaidah ini merupakan ketetapan asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd al-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
             Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi al-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
             1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga. 
            2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
              3.Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba. Ada perbedaan al-Zari’ah dan muqaddimah.[46]
Betapapun al-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya. Pembahasan tentang fath al-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath al-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzari’ah. Sementara sadd al-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukum. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
            Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .   
Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Apa yang dimaksudkan al-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddimah. Cara menentukan al-Dzari’ah. Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
        1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.   
      2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara.
           Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya. Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan. Bila seseorang berbuat zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang mendahuluinya disebut perantara atau pendahuluan.[47]
            Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajban yaitu membayar zakat, tentulah perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib. Tujuan penetapan hukum secara saddudz-dzari’ah ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukalaf,[48] yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syariat menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan.
           Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah: Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula. Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini dapat ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri. Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsaung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamer, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minuman khamer, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram.[49]
Di dalam ayat lain, Firman Allah SWT :
24:31



                    Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.[50]

Pada ayat ini, penulis ingin mengutip kata-kata:
...dan hendaklah mereka menutup dengan kerudung (       )                                Kemudian ada kata Wala yadhribna, (  ) artinya jangan memukulkan kaki ketanah, agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…[51] Kata-kata memukul memang dikenal dalam al-Qur’an Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi perbuatan itu akan menarik hati laki-laki untuk memancingnya berbuat maksiat, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

            Nabi Muhammad SAW menyatakan  bahwa, taman larangan Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) kepada-Nya. Barang siapa yang menggembalakan (ternaknya) sekitar taman larangan itu, dikhawatirkan  akan terjerumus ke dalammya.[52] Perbuatan yang mengarah kepada larangan, harus segera dicegah hal yang bersifat :
          a. Pasti menyebabkan terpancingnya dikerjakannya suatu perbuatan terlarang
          b.Mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

         Yang pertama, tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Yang kedua inilah yang merupakan obyek sadduz dzari’ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu mendorong orang yang melakukannya untuk mengerjakan perbuatan dosa. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu :
(1)     Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan      terlarang.
(2)     Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
(3)     Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan   terlarang.[53]

           
Apabila maslahat yang lebih dominan dibandingkan mafsadat,  maka boleh dilakukan suatu perbuatan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil perinsip yang berlaku.[54]Memukul anak atau guru memberikan hukuman fisik terhadap muridnya, dianalogikan kepada memukul istri, karena kata-kata memukul anak tidak terdapat di dalam ayat, sedangkan kata memukul istri, ada teksnya di dalam al-Quran.
           Abdurrazaq Al-Abbad menjelaskan bahwa sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa kata “memukul” itu ditafasirkan, “menampakkan kekuatannya..Ada kesalahpahaman arti memukul:
           Pertama, “memukul” itu ditafasirkan, “menampakkan kekuatan fisik kepada sang istri sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk mendidik sang istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang Arab masa lalu, tatkala malam pertama langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di kemudian hari.   Kedua, memperlihatkan kekuatan, seakan ancaman, yang juga diartikan memukul, akibatnya di malam pertama, ada yang mendatangkan ayam jantan dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka iapun mematahkan leher ayam jantan tersebut. Ketiga menyampaikan kata-kata tertentu, ungkapan yang tidak lain sekedar untuk menakut-nakuti istrinya.
            Apakah anak boleh ditakut-takuti dengan hukuman fisik seperti itu?  Sebagaimana yang dinyatakan dalam syarah kitab "Al-Kabaair" karya Al-Dzhabi. Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan kesalahan. Memang benar bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul sebagaimana firman Allah:


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.


.Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.[56]
            Sebagian suami yang suka memukuli istrinya selalu mengulang-ngulang ayat ini, seakan-akan mereka berkata kami sedang menjalankan perintah Allah.Namun janganlah dipahami dari ayat ini bahwasanya memukul wanita itu adalah wajib, bahkan yang terbaik adalah tidak memukul mereka.[57] Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:    Artinya: Janganlah kalian memukul                para wanita (istri-istri kalian!”. Lalu Umarpun datang menemui Nabi .SAW. dan berkata, “Para istri berani dan membangkang suami  mereka!”, maka Nabi SAW., pun memberi keringanan untuk memukul mereka, maka para istripun                      dipukul. Para istripun banyak yang berdatangan menemui istri-istri Nabi (para ummahatul mukminin) mengeluhkan tentang suami mereka. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi istri-istri Nabi Muhammad SAW mengeluhkan tentang suami-suami mereka, Rasulullah menyatakan, para suami yang memukul, bukanlah yang terbaik diantara kalian Beliau juga berkata:
             Jika sang suami tidak memukul, lebih aku sukai karena sabda Nabi  SAW “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul”[58]Jika seorang suami memilih untuk memberikan hukuman fisik.[59] istrinya dalam rangka mendidiknya maka diperbolehkan dalam syari’at, namun syari’at tatkala membolehkan hal ini bukan berarti membolehkannya tanpa kaidah dan syarat. Oleh karena itu pemukulan tidak boleh dilakukan kecuali mengikuti kaidah-kaidah yang dibenarkan, diantaranya istri memang benar-benar  melakukan rmaksiat menurut syari’at. Jika suami memerintahkan istrinya  melakukan hal yang haram. Ketika istri menolak  mentaatinya, lau dipukulnya, di sangka nya boleh. Dalam kondisi seperti ini berarti sang suami telah mengumpulkan dua kesalahan, yang pertama ia telah memerintahkan istrinya untuk berbuat perkara yang haram, dan yang kedua ia telah melakukan pemukulan yang tidak sesuai dengan kaidah syari’at. Demikian juga dengan memukul anak yang tidak salat.

              Menurut Ibnul ‘Arabi, “Termasuk yang paling bagus yang pernah aku dengar tentang tafsiran ayat
 tentang “memukul” ini, adalah perkataan Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ia (sang suami) menasehati anak dan istri, jika ia menerima nasehat (maka tercapailah maksud). Namun jika anak dan istri tidak menerima nasehat,  maka boleh memukul atau menghajarnya.[60] Jika ia berubah (maka tercapailah maksud) namun jika ia tidak berubah maka sang suami memukulnya. Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhal. Jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik.[61]

          Pukulan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para istri biasanya merupakan kesalahan yang ringan dan tidak terus-terusan. Kesalahan seperti ini tidaklah menjadikan sang istri berhak untuk dipukul.
Tujuan dari pemukulan adalah untuk mengobati,[62] bukan untuk menghina sang istri apalagi untuk melepaskan dendam yang telah terpendam. Apalagi yang sangat disayangkan sebagian suami memukul istrinya dihadapan anak-anaknya sehingga anak-anakpun belajar jadi berani terhadap ibunya atau timbul hal-hal yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-anak. Dan bayangkanlah wahai para pembaca yang budiman..bagaimanakah perasaan seorang wanita yang selalu dipukul oleh suaminya apalagi di hadapan anak-anaknya.

           Ibnu Utsaimin berkata, “Anak-anak jika melihat percekcokan yang terjadi antara ayah dan ibunya maka mereka akan merasa sakit dan terganggu, dan jika mereka melihat kasih sayang antara ayah dan ibunya maka mereka akan riang gembira…”[63].Anak-anak yang  tidak terawat dan menjadi anak-anak jalanan dikarenakan cekcok yang terjadi antara kedua orang tua mereka
.

          
Selanjutnya  Ibnu Utsaimin menyatakan, bahwa harus dijauhi pemukulan terhadap tempat-tempat yang rawan, misalnya perut, kepala, dada, dan wajah.[64] Kebanyakan suami atau ayah, yang memukul anak atau istrinya,  jika marah, mereka akan mengambil apa saja yang ada di dekat mereka,  untuk dipukulkan kepada anak dan istri mereka, terkadang benda-benda itu dipukulkan ke wajah mereka, padahal Nabi Muhamaad SAW., melarang memukul wajah secara mutlak, bahkan Nabi sangat melarang memukul wajah hewan sekalipun.

           
Ada pukulan yang tidak mangandung unsur kekerasan, menurut Atha’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang dimaksudkan dengan pukulan yang tidak membahayakan?” beliau menjawab, “Gunakan siwak dan sejenisnya.” Jika memukul, hindari lokasi-lokasi berbahaya seperti kepala, perut, juga wajah. Karena Nabi  melarang memukul wajah secara umum. Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hidah   disebutkan bahwa ia bertanya, tentang hak istri atas diri suami.?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau memberinya makanan sebagaimana yang engkau makan dan memberinya pakaian sebagaimana yang engkau kenakan; jangan engkau menjelek-jelekkannya dan jangan memukul sembarangan.‘jangan memukul wajah.”[65]

             Jabir, berkata, Rasulullah
SAW.,  melarang memukul di wajah dengan memberikan isyarat (dengan menggores) di wajah[66] Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah dilarang pada seluruhnya, pada manusia, keledai, kuda, unta,  kambing, dan yang lainnya. Pada manusia lebih terlarang lagi, karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan,  disebabkan karena  wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah manusia  menjadi buruk  atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”.[67]

A.    Sisi Kesamaan Antara Hukum Islam Dan Hukum Perlindungan Anak RI
Penulis melihat  ada sisi kesamaan antara Hukum Islam (Fiqih) dengan UU No 23 terutama kesamaan dalam membangun semangat anti kekerasan terhadap anak. Kesamaan di sisi yang lain ialah:

       1. Sama-Sama Mengedepankan Kelembutan
         Mengedepankan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya, mencontoh Rasulullah  dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau,  disebutkan dalam Al-Qur’an:
3:159
                        Karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka.   Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” [68]

          Kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak  mulia ini? Serta bergaul dengan manusia  dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati, memikat hati hamba Allah  untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154). Begitu banyak anjuran  bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah x, ketika beliau bersabda:“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.”[69]

          Maknanya, Allah memberikan balasan atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan maknanya, dengan kelembutan itu, orang dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selain itu. (Syarh Shahih Muslim, 16/144).Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah pernah memerintahkan kepadanya:“Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidak ada kelembutan selain memperindahnya. Ketika kelembutan tercabut dari sesuatu,  pasti akan memperjelekkannya.” (HR. Muslim no. 2594) Maksudnya, bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334).Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah
, bahwa Rasulullah bersabda“Barangsiapa yang terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592) karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran.
            Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya.
           Ada anak yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien.Pada awalnya berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran  termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum[70]
           Jika Rasulullah SAW melarang memukul wajah hewan, lebih-lebih lagi wajah manusia, lebih-lebih lagi jika wajah wanita dan anak-anak,[71] karena itu Rasulullah melarang secara khusus untuk memukul wajah. Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullah  menjawab, “Memberi makan kepadanya, memberi pakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak menjelekannya,[72] serta tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah[73]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
             Suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada di tangannya?. Ini menunjukkan lemahnya nilai keaagamaan dan pendeknya akal sang suami.   Pemukulan tidak boleh sampai
berbekas, lebih-lebih lagi sampai mematahkan tulang. Jangan sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan terhadap istri  dan  anak, adalah ibarat obat yang  harus diperhatikan jenisnya, kapan dilakukan, bagaimana caranya, dan ukuran pemukulan tersebut. “Dan merupakan hak kalian agar mereka (anak dan istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian, dan jika terpaksa melakukan maka “pukullah” mereka dengan pukulan yang tidak membekas[74]

            Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini
,yaitu anak dan  istri melakukan sesuatu tanpa izin  dan  hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk hukuman ketidaktaatan anggota keluarga yang lain ? tentunya lebih utama  tidak dipukulnya.” [75] Berkata Ibnul ‘Arabi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[76] Sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?[77] Rasulullah SAW.,bersabda,“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari[78]Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap anak dan wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” menurut Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Karena itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
            Kemudian dinyatakan, di dalam Qur’an Surat An-Nisa’: 34 bahwa“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”.Ayat ini, memberikan informasi  tentang memukul istri yang tidak patuh, pada perintah suami, di mana perintah suami tidak untuk kejelekan istri tetapi untuk kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup tentu suami yang baik menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula. Terkadang banyak istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami. Dalam hal ini jika ada kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak baik) maka suami harus menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat diatas kata menasehati lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati ini tentu tidak hanya sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar. Nah, jika istri sudah dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami boleh memukul. Ayat tentang ini ada asbanunnuzulnya.[79] Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul tersebut. Banyak kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu yang menakutkan. kata “Pukullah”,[80] adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan sendiri-sendiri dari kata ini. Adapun  maksud dan arti “memukul” :
            1) Membenturkan benda ke tubuh.
            2) Membenturkan kepalan tangan (tangan) ke tubuh.
            Dari dua arti diatas tentu masih bernuansa umum, karena benda yang dipakai juga tidak jelas, apakah besar, sedang atau kecil. Apakah bendanya panjang atau pendek. Dalam membenturkan tangan juga tidak jelas apakah dengan kekuatan penuh, sedang atau lemah. Ayat diatas tidak ada keterangan bagaimana harus memukul. Dalam pemahaman Islam mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul adalah membenturkan sesuatu benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu bisa menyadarkan pihak istri. Dan tentu masing-masing pukulan akan berbeda tentunya, karena ada istri yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja sudah sadar, dan ada yang dipukul keras, baru sadar dan yang terakhir tadi tentu sejelek-jelek pukulan. [81]
                      Bagaimana jika sudah dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum khamar,memang diberlakukan hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
     2. Semangat Mendahulukan  Pencegahan
            Semangat anti kekerasan menurut fiqih, sejalan dengan semangat anti kekerasan menurut Hukum Perlindungan Anak(UU Nomor 23 Tahun 2002). Dalam Hukum Islam ada istilah fiqih disebut hukum hudud, artinya mencegah, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.[82]  Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga cegahan. Sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'an sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada Qs.An-Nisa':15-16. Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan zina,  dan semua perbuatan mesum seperti, : zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut pendapat Muslim dan mujahid, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits yang menyatakan, "Siapa yang minum khamar maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.  Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
               Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
               1) Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[83]
            2) Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud. [84]
            3) Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
            4) Bisa memilih
            Peminum minuman keras, dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa. 
            Kapan hukuman di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?" Di saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya, ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini."[85]  Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya.  Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anaknya dan pengajarannya ayah dan  anak semata-mata bertujuan agar  taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syar’i agar jangan  timbul perasaan benci sang anak terhadap ketentuan syar'i yang berat dilakukan dan karena meninggalkannya dipukul.
             Abdullah Ibn Baz 
menyatakan, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian melakukan salat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun “dengan pukulan yang ringan” yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan mem-biasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq, dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW.[86]

              Ibnu Utsaimin  berkata, "Nabi Muhammad SAW, telah memerintahkan agar umat Islam  memerintahkan anak-anaknya melakukan shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka, saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."[87] 
            Beliau juga berkata, "Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia.[88] Syaikh Fauzan berkata, "Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet, mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." . [89]

          Pembinaan anak dengan memberikan sanksi hukuman fisik, bukan hanya karena  meninggalkan shalat dan puasa saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang-kadang  anak shalat, tapi shalatnya dijamak, atau dia shalat tanpa wudhu
, atau tidak benar shalatnya. Karena itu anak harus diajarkan semua masalah  shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai, orang tua dan guru menegsakan lagi  nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan “pukulan” hingga shalatnya benar. Al-Mubarkafuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan: Berkata Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan “pukulan” (di hadits tersebut) adalah pukulan yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah.[90] 

           Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung, misalnya tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, besi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut. Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau ber-sabda:  Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah .
[91]Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren?[92] dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin.?
           Untuk yang pertama jawabannya, syara'  tidak hanya memberikan "kewenangan menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada yang lainnya. Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk pelanggaran-pelanggaran lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para ulama, syara' menjadikan hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan tidak pada syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat merupakan kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat apabila tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah memasuki masa baligh, maka mninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi dosa besar baginya.

          3. Sanksi Terhadap Orang Dewasa Yang Melanggar Hak Anak
              a.  Sanksi umum
           Sanksi umum, bisa berupa penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Ps 36 (2)Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:  1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya. 2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. UU 1/1974 tentang Perkawinan.  UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan  4. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
           Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik keke-rasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Kepolisian dapat menangkap untuk selan-jutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (Ps 35 (1). Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah per -lindungan (Ps 36 (1).  Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat meng -ajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan (Ps 37 (1). Bilamana pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam guna dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi (Pasal 37 (2)
              b.  Sanksi khusus           
            Sanksi khusus, hanya merupakan sanksi moral. Lebih-lebih lagi menurut Hukum Islam, Syari’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum anak dan istrinya yang    nusyuz     (membangkang),[93] dengan tiga macam hukuman, yaitu menasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:

...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[94] Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.[95]

             Asbab al-Nuzulnya menurut Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali bin Abi Thalib, "laki-laki Ansar datang kepada Nabi SAW.,membawa istrinya. Kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah pun menurunkan ayat,’'Kaum lelaki menjadi pelindung  wanita, .sampai akhir ayat.' QS. An-Nisa’ 34. Ada  hadits yang menjadi penjelasan, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya." Berikut ini tentang kesamaan Al-quran dan hadits, tentang tingkatan hukuman antara isteri dan anak.

Tabel    IV. 5

Kemiripan Redaksi Ayat Dan Hadits Tentang Hukuman Pukulan
Dari Segi Urutan Kata

No
QS An-Nisa’ (4) : 34
Hadits
1
Dinasehati isterimu
Disuruh anakmu
2
Pisahkan dari tempat tidur
Pisahkan tidurnya
3
Pukullah isterimu
Pukullah mereka

             Dari tiga tingkatan, pernyataan  dari  aanalisis pola ayat Al-Quran  dan hadits tersebut,  yang penulis  soroti adalah  yang nomor tiga,  karena ada kata “ Pukullah mereka”. Kaitannya, dengan penelitian ini ialah , kata pukulan itu, termasuk  kekerasan menurut ketentuan deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang  RI Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapi menurut analisis penulis, sebenarnya  ada hukuman pukulan yang tidak masuk kategori kekerasan, yaitu memukul yang tidak berdasarkan emosi, tidak gores, tidak berbekas, dan tidak boleh memukul wajah.
             Ada tiga jenis hukuman, yang dapat  dilakukan kepada anak dan isteri, secara bertahap, tidak menerapkan hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama, misalnya si istri bisa berubah. Nasihatnya adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak di wajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib (penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama: Hendaknya tidak merusak anggota tubuh apa pun dan tidak menimbulkan bekas sedikitpun.[96]
             Dari penelaahan penulis  terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
            Batasan usia yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anak, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi B. Hurlock dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak) menyebutkan bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentang usia antara 13 (tiga belas) tahun, sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usiaantara 13 – 21 tahun.
           Secara yuridis formal, masalah pertanggungjawaban mengenai kenakalan anak atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Bandingkan ketentuan umur yang disebut di dalam hadits  yang menyuruh anak-anak melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan memukulnya  jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.[97]
             Hukuman  untuk anak-anak, tentu saja, hal yang bisa dilakukan adalah tindakan  “yang bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis” yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, tindakan yang bisa ditempuh misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan kata-kata yang menyentuh,  tanpa amarah atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan menyesalinya.
             Kemudian ciptakan suasana agar murid, mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah SWT., pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal itu berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau bina.

             Terkait hukuman fisik, dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah SWT. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang menyakiti seorang muslim,  sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah swt .
[98]
            c) Sanksi Hukum yang Sesuai dengan Syari’at
             'Uqubah Syar'iyyah, (hukuman) yang sesuai syari'at ini, penting untuk diketahui sebagai acuan dalam memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang diterapkan,  sesuai dengan fitrah syari’at, bukan hukuman yang kontraproduktif. Hukuman juga  membawa kemaslahatan bagi yang menghukum. Perlu adanya  ketaatan terhadap penghukum  sendiri, agar taat kepada  al-Hakim al-Syari’ Allah ‘Azza wa Jalla.

            Pertama, ada macam-macam hukuman  dalam Islam. Secara garis besar  digolongkan menjadi tiga macam: 1. Hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, Kedua, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya. Ketiga, hukuman oleh suami terhadap isterinya.  Hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya. Ada ta’zir,  bagi anak santri dalam bentuk, dicukur rambut,
[99]  setelah itu tubuh mereka dibasahkan, dengan air bau tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Kemudian  berdiri semalaman. “Ritual” itu  mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka.

          Ta’zir dijatuhkan  kepada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir di sini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren. Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran, jika kemudian tradisi itu berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut penulis lebih mengarah pada tindakan yang anarkis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

            Selain hal di atas, kenapa masyarakat di lingkungan madr
asah dan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir, hampir sama dengan budaya perpeloncoan,[100] saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif  misalnya diskusi, olahraga dan permaian. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa  cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik. Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut opini masyarakat adalah budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan. Menurut Siti Rofi'ah dar UIN Semarang, dari hasil pengamatan terhadap beberapa (21) pesantren yang ada di Salatiga 17 di antaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.
           4. Sanksi Hukum Yang Bersamaan Dengan Moral

           Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman  adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di sini  ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera,[101] bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.

              Untuk membuat perubahan konsep hukuman yang mengandung kekerasan, dimulai pada persoalan yang mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan di sekolah atau di pesantren, para pengurusnya juga  santrinya, paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral  pesantren, memahami esensi sebuah hukuman. Bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah  ta’zir  masih tepat dipertahankan, atau  menjadi tradisi  yang sia-sia ?

           Pada awalnya, ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang,
di mana Hak Asasi Manusia (HAM) sangat mengemuka, dengan setting sosial yang berbeda, masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut. Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman yang mausiawi, tergantung dari keadaan. Hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat jera, bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya. Cara ini akan lebih indah dan menyentuh  dibandingkan cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.
               Ta’zîr dalam pondok pesantren, perlu direformasi, karena begitu banyaknya santri yang tidak mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam pondok pesantren. Setiap santri yang melakukan pelanggaran maka akan dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan santri tersebut. Akan tetapi ada juga ta’zir yang diberikan santri tidak adil,[102] semisal ada santri yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri tersebut kenal atau teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang diberikan kepada santri tersebut lebih ringan dari pada santri yang tidak dekat dengan si penta’zir.  Kebanyakan santri saat ini ketika dita’zir akan semakin parah bisa juga santri balik mengancam, misalnya  melapor pada pihak berwajib. Tidak jarang juga santri-santri yang tidak melanggar aturan terkena imbasnya juga.
              Tidak patut pendidikan yang diberlakukan di negara ini, melanggar hukum yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di Indonesia, masih ada yang  melanggar HAM, karena terkadang ta’zir  yang diberikan kepada santri  tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh santri tersebut. Misalnya ketika libur pondok telah usai dan saat kembali ke pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau beli semen satu karung. Dan ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren yang bertolak belakang dengan undang-undang. Tapi dari negara, belum ada contoh hukuman yang seperti apa yang sesuai dengan HAM dan hukum dan aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya.[103]


               [1] Op.Cit.HR. Baihaqi
          [2] Ibnu Taimiyyah.. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah.(Saudi Arabia: Dar Al kutub Al arabi, 1967)),14
           [3]Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Suyuti..(Al-asybah wa al nadha’ir. Sura-baya: Al Hidayah, 1965),83
       [4]Izzuddin ibn Abd al-S alam, Qawaid al-Ahk am fi Masalih al-Anam (K airo: al-Istiqamat, t.t),I:9.Bandingkan dengan pengertian ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum.
        [5]Asymuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan I, 1976), hlm. 132.
        [6] H.A.Djazuli, Kaedah-Kaedah Fiqih dalam menuelesaikan Masalah Yang Praktis, Kencana Prenada Media Group,Jakarta :2007),hlm 23. Tasharruful Imam ‘Ala Al- Ra’iyah Manutun Bi al -Maslahah .Kebijaksaanaan pemimpin terhadap rakyatnya, berorientasi kepada kesejahteraan rakyatnya.Kaedah ini merupakan bagian dari kaedah ushul, yang berbeda dengan kaedah fiqhiyah. Kaedah ushul meliputi semua bagian, seangkan kaedah fiqih hanya bersifat aghlabiyah,(pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.Ke- mudian bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara‘ yang praktis.
              [7]Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8 Novemer 2007  Internet, Pukul 12.30.
               [8] Ibid
                [9] Ibid
             [10] Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangk a Teori Fik ih danTata Huk um Indonesia (Medan :Pustaka Widyasarana,1995),hlm.34-35


            [11] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspek tif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hal 239
          [12] Najamuddin at Tufi.. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.Bagian Lampiran (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1994), hlm. 243.
              [13] Ibid, 244
             [14]Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Jakarta, tahun 2005, 121
          [15]Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,  Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.HR. Abu Daud no. 1067.Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid, Semarang, Toha Putra, tth, 326. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid analisa fiqh para mujtahid jilid II,(Jakarta:Pustaka Amani, 2007),hlm.3.
               [16] Ibid, 168
            [17]Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih. Islam, (Surabaya: Risalah. Gusti, 1995), hlm. 22 Istihsan, misalnya ulama yang tidak dapat melihat, baitul haram, harus berusaha keras menghadapnya dengan tepat atau menemukannya dengan jalan qiyas. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.  Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.  Lihat  Imam Syafii, Al-Risalah, terj,( Pustaka Azzam, Jakarta: 2008), hlm. 529.
           [18] Muhammad Khudori Beik, Tarikh Tasyri Islami, (Beirut: Dar al-Fikr , 1967), hlm. 17
Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hlm 329
         [19] Masjfuq Zuhdi, Masa’il al-Fiqhi, Kapita Selekta Hukum Islam,  (PT.Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997), hlm. 252. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW., karena Allah berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.”  QS. As- Syura, 10 .Hukum itu berputar di atas ‘ilat hukumnya, ada atau tidak ada hukumnya. Situasi dan kondisi berubah, hukumnya kadang-kadang tidak ada.
            [20] Ibid, 330
             [21] Amrullah Ahmad dkk, (Ed). Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof.Dr.H. Busthanul Arifin SH (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hlm 214
             [22] Ibid, hlm 215
             [23] Ibid, hlm 218
           [24] Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, tt.),hlm.249.Menghukum anak, menjadi serba salah, karena  salah hukum, dapat menimbulkan fitnah, seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun:14.Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah).

              [25]Pemerintah RI,UU No 14/2005 Melindungi Profesi Guru Dan Dosen.
              [26]Bila UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Bunadi Hidayat,op.cit., hlm. 178.
           [27]Sedangkan di dalam hukum Islam, seperti yang dinyatakan, Al-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Dalam karyanya al-Muwafaqat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
              [28]Ahmad Wardi Muslich. 2002, hlm. 158.
              [29] UU Perlindungan Anak Dan Pejelasannya, (Jakarta, Harvarindo : 1998), hlm. 117.
                [30] Ibid
             [31]Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
               [32]Jurnal Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009.
       [33]Yusuf Qardhawi, dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang menglami perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah, disebutkan sebagai Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).
                [34]Shohih Abu Dawud, hlm. 494.
             [35]Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah, bukan ketetapan guru atau mufti. Imam Ibnu Qayyim berkata  " Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman (fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi' (realita), serta menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan 'alamat (bukti-bukti dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :  memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum Allah yang ditetap kan dalam kitab-Nya atau melalui lesan Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat, pent) atas yang lain (realita)
           [36]R.Van Dijk, (terj) A.Soehadi, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1982), hlm 115. Sejalan dengan pendapat Hazairin, bahwa  Hukum adat adalah perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat dan mendapat pengakuan masyarakat. Meskipun berbeda, tetapi kaidah hukum dan kaidah kesusilaan memiliki kaitan yang sangat erat. Kaidah hukum juga memiliki unsur sanksi dan paksaan. Di Indonesia, beberapa aturan hukum adat, sejalan dengan aturan agama, seperti ungkapan berikut:
 Menanam kelapa di Pulau Bukum
 Tinggi sedepa sudah berbuah
 Adat bermula dengan hukum          
 Hukum bersandar di Kitab Allah  
Laksamana berbaju besi
Masuk ke hutan melanda-landa   
Hidup berdiri dengan saksi     
Adat berdiri dengan tanda    
           [37]Al-Raisani,Arti penting teori maqashid al-syari’ah ,terj,1995) hlm 32 yang pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Misalnya hukuman fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya. Lebih dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam adalah hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi (al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih dan maqashid al-syari’ah harus dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya, dengan metodologi Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang secara yakin menjadikan maqashid al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu ushul  fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati, adalah tidak benar, karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid al-syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
        [38]Adapaun pengertian saddu al-Dzari’ah: Secara Etimologis . Kata sadd al-dzari’ah(سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-saddtersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari’ah adalah al-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara’i.
          [39]Al-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
              [40] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar., op. cit.
          [41] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal. 892-893. Sunah, dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih danHadis Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah. 
                 [42] Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.QS. Al-An’am (6) ayat 108. Adapun  dalil yang menjadi dasar hukum saddu al-Zari’ah adalah Alquran. Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
            [43]QS. al-Baqarah ayat 104
          [44]Menurut bahasa سخر berarti “mengejek, mencemoohkan, menghina”.
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz Arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya : a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain. b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain. Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah : “Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt.pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya peng-hinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”. Lihat M.Quraish Shihab, op.cit., hlm. 241.
          [45]Al-Gazali menyatakan, logika, mempunyai peranan penting, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, misalnya mendisiplinkan anak-anak,  maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”

           [46]Wahbah al-Zuhaili membedakan antara al-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa al-dzari’ah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 231
          [47] Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378. Sadd al-dzari’ah dan fath al-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
             [48] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.Dalam perbedaan pendapat tiga mazhab di kalangan ulama, yaitu: 1. Mazhab Asyariyah yaitu para pengikut Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Yakni: bahwasanya akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah pada perbuatan-perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya. Dasar mazhab ini adalah: bahwasanya yang baik dari perbuatan mukallaf ialah sesuatu yang ditunjuki oleh syari’ bahwa hal itu adalah baik dengan jalan memperolehnya atau menunut pengerjaannya. Sedangkan yang buruk adalah sesuatu yang ditunjukin oleh syari’, bahwa hal yang itu buruk dengan jalan menutut untuk meninggalkannya. Yang baik bukanlah yang dipandang baik oleh akal, dan bukan pula yang buruk adalah yang dipandang buruk oleh akal.jadi, ukuran baik dan buruk dalam mazhab ini adalah syara’ bukan akal.Mazhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin ‘Atha’: bahwasanya akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perantaraan para Rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya.Lihat Kalid bin Ali Al-Musyaiqih, Op.Cit, hlm. 115.
         [49] Lihat Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, 163 Menjual khamer pada hakekatnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju kepada minum khamer, maka perbuatan itupun dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnaya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
                 [50]Op.cit, 436
               [51]Q.S An Nuur (24) ayat 31.
             [52]H.R. Bukhari dan Muslim. Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu. Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum. (Ibnu Hazm, IV : 745- 757). Lihat Abu A’la Al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta: 1991), 92

            [53]Pada nomor 1 disebut dzarii’ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang nomor 2 dan 3 disebut dzari’ah dha’ifah (jalan yang lemah) .Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddudz-dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yag dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudharat,  baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddudz-al-zari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat.
            [54]Bahwasanya sang suami telah menasehatinya dan telah menghajir (menjauhinya) dari tempat tidur namun tetap tidak bermanfaat. Ibnu Katsir, Jilid I, hlm. 493.Bandingkan dengan Khalid bin All al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer, (Inas Media, Jakarta: 2008), hlm. 107.

            [55]QS al-Nisa,: 34 ini sejalan dengan HR Abi Dawud, Jilid II, hlm. 24, no. 2146, Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat Abdullah bin Abi Dzubab] Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq.  Imam Asy-Syafi’I berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya. Imam al-Syafi’i, al-Umm, Jilid  V, hlm. 194.
            [56]QS. Al-Nisa’(4) ayat 34.
            [57]Ibnul ‘Arabi berkata, “Atho’ berkata, “Janganlah sang suami memukul istrinya, meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia marah kepada istrinya” [Ahkamul Qur’an I/536] Berkata Al-Qodhi, “Ini di antara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan). Ahkamul Qur’an, Jilid I, hlm. 536.
                [58]Aunul Ma’bud, Jilid VI, hlm. 129.
              [59]Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik. Fathul Bari, Jilid IX, hlm. 304.
            [60] At-Thabarsi, Majma’ Al-Bayan. ‘Al-Madhrab bis Siwak’ yang berarti memukul dengan kayu siwak menjadi lemah.Pertama dari sisi sanad karena hanya diriwayatkan oleh At-Thabarsi dalam bukunya Majma’ Al-Bayan. Dan yang kedua, dari sisi matan. Hal ini dikarenakan ulama ketika sampai pada hadis-hadis seperti ini kemudian memberikan penafsiran lain tidak seperti apa adanya.Seperti disebutkan oleh Syahid Ats-Tsani bahwa yang dimaksud memiliki hikmah berhubungan seks karena memukul sangat tidak mendidik. Begitu juga Marhum Al-Bahrani dalam bukunya Al-Hadaiq, jilid 24, hlm 617.
              [61]Ibid.
              [62]Lihat Al-Mughni, Jilid VII, hlm. 242.
                   [63] Asy-Syarhul Mumti’,(terj) Jilid  XII, hlm. 382.
                   [64]Al-Mughni, (terj) Jilid VII,op.cit,  hlm. 243.
                   [65]Hadits Riwayat Ibnu Majah 1850 dan Ahmad IV: 446
                  [66]HR Muslim III/1673 no 2116
                  [67]Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim XIV/97
            [68] Hasbi As-Shiddieqie(Editor), Qur’an Dan Terjemahannya, op.cit, Surat Ali Imran:159
            [69] Lihat Shahih Muslim  HR. Muslim no. 2593
                 [70] Ibid
                 [71] Ibid
                [72]Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah Bulughul Maram kaset no 12)
[73]HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
            [74]HR Muslim II/890 no 1218
            [75]Asy-Syarhul Mumti’ XII/444
            [76]Ahkamul Qur’an I/535
            [77]Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri” [Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya.   Allah berfirmam, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.QS. 4:34.
          [78]HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah
           [79]Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas.
          [80]Abdullah bin ‘Umar apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu. (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad.  Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
            [81]Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829
          [82]Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari sunnah.(maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni seratus kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Muchtar Yahya, op.cit., hlm. 511.

          [83]Ta'ziî adalah jenis hukuman, bukan bentuk hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi kalau kita bicara tentang jenis hukuman, maka jenis hukuman itu ada 2 macam, yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir. Sedangkan bentuknya bisa saja cambuk, rajam atau lainnya. Beda Ta'zir dengan Hudud .Jadi padanan dari hukum ta'zir bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum hudud adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari batasan pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak punya hak untuk mengubahnya.Contoh  hudud adalah ketentuan memotong tangan pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri.
              [84]Hukum Hudud telah sekian lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam agar masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman yang serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud dan undang-undang Islam lain yang Allah perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan sepanjang zaman hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud ialah satu cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan jenayah Islam terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud ialah kesalahan jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan kepada nas, sama ada melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda. "Itu adalah Hudud (had-had) dari Allah,  barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." Surah An-Nisaa'(4) : Ayat 13.
               [85]Ibnu al-Jauzi, I'lamul Muwaqqi'in, Jilid 2, hlm. 23.
                [86]Fatawa Nurun ala Darb, 11/386. Lihat juga Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46
                [87]Kitab Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18.
                [88]Jika dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang." Fatawa Nurun ala Darb ,13/2.
                [89]Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, hlm. 282-284.
            [90]Tuhfatul Ahwadzi, 2/370
            [91]HR. Abu Dawud
            [92] Abu A’la Al-Maududi, op.cit.,155. Pada saat anak sudah masuk masa baligh, maka hukuman pukulan tersebut tidak berlaku lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan keharaman selain terkait hudud dan jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah, tidak boleh lagi dilakukan oleh orang tua.
            [93]Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah Asy-Syari’ah Edisi 027
             [94]Asbabunnuzul ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa(4) 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..."
          [95]Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. QS. An-Nisa [4]: 34)
             [96]Tafsir Ibn Katsir, Jilid 2, hlm. 295.
               [97]HR. Abu Dawud.Sunan Abu Daud.
                [98]HR. Ath-Thabrani.
                [99]Kepala anak-anak yang dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat. Itulah  sedikit menggambarkan bagaimana para santri menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih banyak terjadi di kalangan beberapa pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zîr.
            [100]Lihat Baharits, A.H.S. Tanggung  Jawab  Ayah  Terhadap  Anak  Laki-Laki.  (Jakrta: Gema Insani Press. 1996), hlm 49 , bahwa walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. Apa saja dampak kekerasan pada siswa? Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu: 1.Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka. 2.Trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi..Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap. 3.Siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya.
              [101] J.J. Hasibuan, Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Karya 1988), hlm 224.
        [102].Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit, hlm.  291.Di zaman yang sudah berubah ini tentu ta’zîr bukan cara utama untuk mendidik santri saat ini, berbeda dengan santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu dita’zir maka santri tersebut bisa menerima dengan ikhlas, karena sadar memang perbuatannya itu salah dan si penta’zir dahulu memang benar-benar adil tanpa pilih kasih..
     
         [103]Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, Bandung,CV.Pustaka Setia, 2008), 129.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook