Tuesday, January 26, 2016

CatatanM.Rakib Jamari Riau ttg Sejarah Christian Snough Hurgroje, pura-pura

Benarkah catatan ini Pak Aswir As? Christian Snouck Hurgronje “Saya Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik.

Menurut  sejarah oleh SWARA Muslaim,  bahwa memang ada cerita yang… ber edar di kampung bahwa Si  durjana ini   ketahuan  kebohongan nya dan berpura  islam,..pada saat pipis sembarangan  ada yang melihat kalau ‘itu’nya  belom   …hihihhhhi…
Orientalis kelahiran Oosterhout ini tak percaya Tuhan. Tapi ia dijunjung sebagai pahlawan oleh Belanda atas keberhasilan memecah-belah ulama.
Nama lengkapnya, Christian Snouck Hurgronje, lahir di pada 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi.
Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arab-nya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekah, 1884. Di Mekah, keramahannya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar. 
Snouck Hurgronje adalah sosok kontroversial khususnya bagi kaum Muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh. Bagi penjajah Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Seorang peneliti Belanda kontemporer Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck para perkembanagan selanjutnya.
Snouck berpendapat bahwa Al-Quran bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung ajaran agama. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia.
Sementara, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya.
Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah mengatakan, “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam“. Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.
Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda.
Pada saat yang sama perang Aceh mulai bergolak. Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak dengan memakai nama “Abdul Ghaffar.
Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah mengakui ke-Islaman Anda“. Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi ini tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.
Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama.
Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu. Snouck kemudian menawarkan diri pada pemerintah penjajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Saat itu perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat dengan ‘Ulama asal Aceh di Mekah. Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Benaker Hourdec menyiapkan asisten-asisten untuk menjadi pembantunya. Seorang di antaranya adalah warga keturunan Arab Pekojan, yaitu Sayyid Utsman Yahya Ibn Aqil al Alawi. Ia adalah penasehat pemerintah Belanda dalam urusan Islam dan kaum Muslim atau asisten honorair.

Dalam buku ”Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa”, Utsman bin Abdullah Al-’Alawi dikenal seorang pengabdi Pemerintah Kolonial Belanda yang amat setia. Untuk kesetiaannya yang luarbiasa itu, ia dianugerahi “Bintang Salib Singa Belanda” tanggal 5 Desember 1899 tanpa upacara resmi. Ia bahkan pernah mengarang khotbah jum’at yang mengandung do’a dalam bahasa Arab untuk kesejahteraan Ratu Belanda Wilhelmina. Khotbah dan do’a itu kemudian dikenal di kalangan umat Islam sebagai “Khotbah Penjilat ”….

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook