Saturday, January 16, 2016

DAULAH ISLAM YANG INDAH PENUH KELEMBUTAN JAUHI KEKERASAN

BERGABUNG KE DALAM DAULAH ISLAM YANG INDAH PENUH KELEMBUTAN JAUHI KEKERSAN

KARYA M.RAKIB JAMARI, RIAU INDONESIA.


Pemilihan umum, jauhi kekerasan, dalam proses demokrasi,
Di zaman para khalifah, mendapatkan Amirul Mukminin.
Bila waktunya datang, kau pengaruhi semua orang
Dengan janji-janji manis penuh keyakinan
Hingga, kau buat kami melayang

Dalam demorasi ini, kau menganggap kaulah yang pantas
Pantas memimpin kami
Atau pantas memilki Kekuasaan?
Aku tak tau apa-apa.

Hey.... engkau yang berteriak disana sini
Dan meminta suara kami
Haruskah kami percaya?

Ah masa bodo...
Demi sebuah kekuasaan
Ambisi dan ketulusan hati tak dapat dibedakan
Bergabung dalam daulah Islamiyah, jangan menebar teror
Tebarkanlah keindahan dan kedamaian.

          Bergabung ke dalam Daulah Islam untuk untuk mendapatkan kesejukan, keindahan, lalu mendukung kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad yang tidak keras, tidak zalim, di bawah panjinya merupakan keharusan bagi sesiapa pun yang masuk Islam saat ini. Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia ikut hijrah ke dalam Daulah Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan orang-orang yang memusuhi Islam. Imannya belum dianggap sempurna kecuali setelah dia ikut dalam barisan jemaah orang-orang mukmin yang berjihad dan yang menjadi sasaran serangan seluruh dunia saat itu. Allah berfirman (yang bermaksud):
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajipan sedikit pun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72)
Allah juga berfirman tentang keadaan orang-orang yang tidak berhijrah ini (yang bermaksud):
“Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka penolong-penolong (kalian), hingga mereka berhijrah kepada jalan Allah.” (An-Nisa`: 89)[3]
Ayat-ayat Al-Qur`an juga diturunkan, memberikan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang lebih suka memilih hidup di wilayah orang-orang kafir dan wilayah perang, tanpa mau mendukung penegakan agama dan melaksanakan kewajipan serta syairnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: Dalam keadaan bagaimana kalian ini? Mereka menjawab: Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah / jahiliyah). Para malaikat bertanya: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik lelaki atau wanita atau kanak-kanak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan, adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa`: 97-99)
Tatkala Rasulullah s.a.w wafat, pertama kali yang menyibukkan para sahabat adalah pemilihan “Pemimpin” bagi mereka. Bahkan mereka lebih mengutamakan urusan ini daripada penguburan jasad baginda. Maka mereka terus berbaiat kepada Abu Bakar dan menyerahkan urusan mereka kepadanya. Begitu pula yang terjadi pada setiap dekad setelah ini. Dengan adanya ijma` sejarah ini, yang dimulai dari era sahabat dan tabi`in, para ulama Islam menggunakannya sebagai dalil tentang kewajipan mengangkat pemimpin, yang menjadi simbol terpenting dari kewujudan daulah Islam.
Sepanjang sejarahnya, orang-orang Muslim tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan daulah, kecuali setelah muncul era sekularisme pada zaman sekarang, yang justru inilah Rasulullah s.a.w pernah memperingatkannya dan memerintahkan untuk melawannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Mu`adz (yang bermaksud):
Ketahuilah, sesungguhnya bulatan penggilingan Islam terus berputar. Maka putarlah ia bersama Islam seperti apa pun ia berputar. Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur`an dan pemimpin itu (agama dan daulah) akan saling berpisah, maka janganlah kalian berpisah dengan Al-Kitab. Ketahuilah, kalian akan dipimpin para penguasa yang menetapkan hukum untuk dirinya tidak seperti ketetapan hukum untuk kalian. Jika kalian membangkang, nescaya mereka akan menghabisi kalian, dan jika kalian patuh, nescaya, mereka akan menyesatkan kalian. Mereka bertanya: Lalu apa yang akan terjadi pada diri kita wahai Rasulullah? Baginda menjawab: Seperti yang terjadi pada rekan-rekan Isa bin Maryam, mereka digergaji dan disalib di atas kayu. Mati dalam ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kederhakaan kepada Allah”[4]
          Menurut  Mohammad Ismu  syaikh Yusuf qardhawi salah satu ulama kontemporer yang sangat peduli pada kondisi ummat saat ini, berbagai isu-isu kontemporer ia tanggapi dengan sangat serius termasuk didalamnya isu politik. Sebagai ulama yang menyeru pentingnya ijtihad dan pembaruan, secara tegas yusuf qardhawi menyayangkan fiqih politik kurang mendapat tempat dalam lapangan ijtihad seperti halnya fiqih ibadah, fiqih muamalah dan fiqih-fiqih lainya. Padahal fiqih daulah bersifat amaliyah yang selalu di tuntut menyesuaikan diri pada setiap kondisi, waktu dan tempat, terlebih saat dunia islam dalam keadaan terpuruk. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian umat islam muncul pemahaman Negara islam yang tak mendalam, yang pada titik-titik tertentu justru tak sejalan dengan nilai-nilai luhur islam itu sendiri.
          Di sisi yang lain, sebagian kaum muslimin tak mengerti dengan agamanya sendiri, beranggapan bahwa tak ada konsep Negara dalam islam. Akibatnya berbagai pemikiran-pemikiran asing yang di kampanyekan oleh para orientalis pun ikut diramaikan oleh para sarjana muslim, ikut memburamkan ajaran islam. Sekularisme misalnya, sebuah teori yang berteriak keras bahwa agama adalah urusan pribadi antara manusia dan penciptanya, bahwa agama milik tuhan dan Negara milik manusia (masyarakat), sebuah teori yang menegaskan urgensi pemisahan antara agama dan Negara, teori inilah yang digalakkan oleh barat untuk juga diterapkan oleh dunia islam. Yusuf qardhawi mengkritik keras sekularisme. Menurutnya, sekularisme tak lebih adalah upaya memisahkan umat dari ajarannya, sekularisme tak lebih muncul karena penggalan sejarah kelam eropa-kristen atas otoritas gereja.
          Menerapkan hal serupa dalam masyarakat islam tentu tidak tepat, karena islam tak mengenal otoritas kaum agamawan, bahkan dalam islam tak mengenal kaum agamawan. Memahami agama sebagai otoritas agamawan adalah pemahaman agama terhadap Kristen (dalam konteks sejarah kelam eropa tentunya), bukan pemahaman agama terhadap islam. Ia menegaskan bahwa islam adalah agama yang sempurna, sebuah agama yang menyeluruh, yang mengajarkan setiap sisi kehidupan. “dan kami turunkan kepadamu al kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira orang-orang yang berserah diri” ( Al nahl. 89 ). Tak terkecuali dalam bernegara; kontitusi, hukum, undang-undang, tujuan dan etikanya.
        Hal itu ditegaskan oleh: pertama, nash al qur’an dan sunnah. “sesunggguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkanya dengan adil” (an nisa’. 58). “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada allah dan rasulnya”(an nisa’. 59). Khitob ayat pertama adalah pemimpin dan penguasa agar memegang amanat dengan baik dan meminpin dengan adil, karena keduanya adalah peringatan hancurnya sebuah bangsa. Dalam hadis di sebutkan, “izha dhui’at amanah fantazhiru sa’ah”. Khitob ayat kedua adalah rakyat sebagai yang dipimpin agar menaati pemimpin ( ulul amri ) dengan syarat dalam batas-batas syariah, dan perintah kembali kepada al qur’an dan sunnah jika terjadi pertikaan (khilaf). Selain itu, puluhan hadis menjelaskan banyak hal tentang kepemimpinan dan batas-batasnya. Kedua, fakta sejarah. Dalam sejarah islam, syaikh yusuf qardhawi melihat nabi saw. berupaya keras dalam mendirikan Negara islam, hijrah ke madinah pun disebutnya tak lain sebagai upaya menciptakan masyarakat islam yang madani. Madinah adalah Negara islam (darul islam), sekaligus nabi saw. sebagai pemimpinnya, sebagaimana ia sebagai nabi pembawa risalah. Bergabung kedalam negara ini, hidup dibawah naungnya dan berjihad membawa benderanya adalah wajib bagi setiap muslim kala itu, tak sempurna iman seseorang jika tak ikut berhijrah ke madinah. (Al anfal, 72). Di ayat yang lain al qur’an mengecam kaum muslimin yang lebih memilih menetap di mekkah (darul kufr wal harb) tidak ikut berhijrah bersama nabi ke madinah, yang tidak memungkinkan untuk menjalankan syari’at islam secara kaffah. Pun, setelah nabi wafat, para sahabat mendahulukan memilih pengganti nabi sebagai pemimpin, baru kemudian mengubur jenazah nabi.
        Dari sini, tampak betapa bahwa Negara bukan sekedar urusan biasa yang dapat di tangguhkan, lebih dari itu adalah kewajiban agama yang harus di tunaikan. Ketiga, tabi’at islam itu sendiri. Islam adalah agama yang universal, mencakup semua aspek kehidupan, dan tentu saja isu berpolitik dan bernegara tak terkecualikan. Karena islam adalah agama yang sangat mendambakan sebuah tatanan yang terorganisir dan bertanggung jawab. Keserampangan bukan wajah islam. Lihatlah bagaimana nabi menyuruh meluruskan shaf dalam sholat berjama’ah, memilih satu sebagai imam yang paling alim. Lihat pula, bagaimana nabi memerintahkan agar memilih satu sebagai yang mengetuai jika tiga orang saja berpergian (ammiru ahadukum). Sebagai isyarat, jika dalam kelompok kecil saja islam bicara ammiru ahadukum, apatah lagi dalam tatanan masyarakat yang besar.
         Hal ini sejalan dengan perintah dalam islam tentang amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan penegakan keadilan, memerangi kezaliman dan tirani dan perintah-perintah lain yang harus di dukung oleh kekuasaan (al quwwah). Juga, islam sebagai agama rahmatan lil alamin harus mengarahkan kehidupan yang sejalan dengan syari’at, proyek seperti ini tentu tidak cukup hanya disampaikan lewat kutbah-kutbah, peringatan dan nasehat atau artikel-artikel di buku-buku dan majalah agar diresapi sampai ke hati dan keyakinan, karena jika hati mati dan keyakinan itu terkubur, haruskah ajaran islam juga ikut lenyap.
Nilai dan prinsip Negara dalam islam
Pertama, madani. Bentuk Negara dalam islam selalu disalahpahami sebagai Negara agama (daulah diniyah) dan theokrasi. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dalam memahami Negara islam. Banyak pihak menghawatirkan bahwa penerapan syari’at dalam bernegara dianggap sebagai perpanjangan dan pengulangan kembali sejarah kelam eropa Kristen. Dimana otoritas gereja dan kaum agamawan menjadi kebenaran yang tak terbantahkan, memberi status pada dirinya sebagai perpanjangan tangan tuhan, mengklaim bahwa mereka melakukannya atas nama tuhan (al haq ilahi ), apa yang keluar dari mulutnya demikianlah tuhan berfirman. Seperti disinggung diatas, islam tak mengenal otoritas apapun, terlebih otoritas penguasa dengan atas nama tuhan.
          Abu bakar as sidiq ra. dalam khutbah pembai’atannya berkata “aku di bai’at menjadi pemimpin kalian bukan berarti aku yang paling baik dari kalian” (inni wulitu alaikum walastu bikhairikum). Usman ra. juga pernah berucap “amri liamrikum tubi’a“. atau umar ra. yang berkata “jika aku salah maka gantikan aku“. Demikian juga ucapan ali ra. “aku salah dan anda benar“. Otoritas dalam islam hanya milik Allah swt. sebagai penguasa mutlak, otoritas inilah yang akan membatasi kesewenangan pemimpin. Namuin demikian, hal ini tak menutup bagi terbukanya kreasi (hak) manusia (pemimpin dan penguasa) dalam upaya menciptakan tatanan masyarakat madani dan kemaslahatan bersama selama masih dalam koridor umum syari’at islam (maqashid al syariah al kulliah).
         Dari sini Dr. Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa Negara islam adalah Negara madani yang terbentuk didasarkan pada syariat, agar kebijakan manusia tidak melampui batas-batas wajar yang ditetapkan islam, menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Islam bukan Negara agama dan theokrasi seperti yang dipahami barat. 


         “al hukmu ala syai’i far’un ‘an tashawwurihi“. Artinya, sebuah produk hukum sangat erat kaitannya pada sejauh mana mengetahui hakekat objek yang di kaji. Jika pengetahuan itu tidak memadai maka hukum yang disimpulkan dianggap salah, jikapun kebetulan benar hal itu dianggap serampangan dan membabi buta, seperti memanah tanpa menggunakan panah. Substansi demokrasi menurutnya jauh dari definisi-definisi akademis. Substansi demokrasi sesungguhnya adalah hak rakyat memilih pemimpin yang akan membawa kepentingan rakyat, mencegah terbentuknya penguasa yang tak diharapkan.

         Substansi demokrasi adalah hak rakyat mengoreksi penguasa, hak menurunkan dan menggantinya jika menyimpang. Inilah substansi demokrasi sesungguhnya dibalik sistem-sistem praktis dalam demokrasi seperti pemilu, dewan legislatif, penetapan pilihan mayoritas, multi-partai, hak-hak minoritas dan oposisi, kebebasan pers, independensi yudikatif dst. Substansi demokrasi beliau nilai sejalan dengan islam. Jauh sebelum demokrasi muncul, islam sudah mengemukakan kerangka ini, hanya saja secara umum dan global, agar di mungkinkan bagi terbukanya lapangan ijtihad bagi umat islam untuk terus menyelaraskan kemaslahatan agama dan dunia dalam kehidupan realitas yang terus bergerak sesuai tuntutan zaman. Untuk itu umat islam tetap dituntut berfikir mencari model terbaik. Namun demikian, adalah kebutuhan yang mendesak guna menciptakan keadilan, menerapkan al syura, menjamin hak-hak manusia dan memerangi penguasa tirani, beliau menilai, dan merujuk pada kaedah “ma la yutimmu illa bihi fahuwa wajib“, bahwa demokrasi adalah solusi terbaik. Karena dalam islam pun tak ada larangan mengambil hikmah dari golongan lain selama sejalan dengan islam itu sendiri. Wallahu a’lam bi shawab.

*Tulisan ini hanyalah pemahaman terbatas dari penulis.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook