Wednesday, April 6, 2016

MORAL DAN ETIKA BUSANA DALAM INJIL Dr.H.M.Rakib Jamary,S.H.,M.Ag.

MORAL DAN ETIKA BUSANA DALAM INJIL
Dr.H.M.Rakib Jamary,S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia (Editor)

1Korintus 11 ayat 5-6, bahwa jika wanita tidak mau menudungi kepalanya, hendaklah ia mencukur rambutnya, tetapi jika merupakan aib, jika rambutnya dicukur, maka hendaklah ia menudungi kepalanya.

     Nostalgia masa lalu, ketika itu aku menjadi guru agama di SMA 4 JL.Bambukuning. Aku memotivasi para murid agar memakai jilbab, hasilnya 100 persen siswi gerjilbab tahun 1991-1995. Kunci sukses penjilbaban murid waktu itu adalah acara muhasabah yang dilakukan setiap minggu, di setiap kelas, sekaligus mengajak mereka berdoa dan berselawat badar. Yang sering penulis sampaikan ialah:

A.    Hakikat Berbusana Dalam Pandangan Islam

Islam mengatur ketentuan berpakaian bagi laki laki maupun perempuan. ketentuan tersebut dimaksudkan untuk dijadikan pedoman agar dalam pelaksanaanya memberikan kebaikan bagi pemakainya. oleh karena itu memahami bagaimana ketentuan serta adab berpakaian menurut islam menjadi sesuatu yang terpenting. Mengenakan pakaian baik laki laki maupun perempuan tidak sekedar untuk melindungi badan dari udara dan panas matahari, tetapi lebih memiliki makna ibadah dan manfaat lainnya. untuk memberikan gambaran bagaimana ketentuan memakai pakaian sehingga memiliki makna dan fungsi yang benarm berikut akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan adab bepakaian sesuai ketentuan Al Qur'an dan hadis.
Menurut M. Quraisy Shihab, al-Quran sebagai sandaran etika Islam, paling tidak menggunakan tiga istilah untuk busana (pakaian), yaitu libas, tsiyab, dan sarabil. Libas pada mulanya berarti penutup-apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Kata libas digunakan oleh al-Qur’ân untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsyiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.[1] Selain kata tersebut ada istilah lain yang lebih mendekati pada makna pakaian muslimah yaitu jilbab dan hijab. Kebanyakan para ulama memilih jilbab untuk istilah busana muslimah, dan sedikit yang menggunakan istilah hijab.[2] Al-Raghib al-Isfahani menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.[3]
Mengenai fungsi busana (pakaian), menurut M. Quraisy Shihab setidaknya ada empat fungsi jika merujuk pada al-Qur’ân, yaitu sebagai penutup aurat, sebagai perhiasan, sebagai perlindungan atau ketakwaan, dan sebagai identitas. Misalnya yang disebutkan dalam surat al-A’raf (7): ayat 26:

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karena etika Islam mencakup segala perbuatan dan tingkah laku manusia, maka diatur pula pola berbusana. Karenanya, ada patokan-patokan yang harus diikuti dalam memakai busana menutupi, yaitu menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis dan menerawang.


B. Batasan Aurat dan Etika Berbusana

Dalam Etika berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.[4]Imam Malik, Syafi’î, dan Abû Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat. Sedangkan mengenai aurat wanita, terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama klasik sendiri, secara garis besar pendapatnya mengenai aurat wanita terbagi pada dua kelompok besar. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sehingga harus diutupi. Kelompok kedua mengecualikan wajiah dan tepapak tangan. Adajuga yang menambahkan dengan sedikit longgar, seperti Abû Hanifah yang menambahkan kaki wanita juga boleh terbuka.[5]
Dalam kaca mata syari'at, jika bahan-bahan pakaian itu sangat tipis sehingga menampakkan aurat, lekuk-lekuk tubuh atau sejenisnya maka pakaian itu tidak boleh dikenakan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurun-kan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.dan pakaian takwa itulah yang paling baik Itulah tanda kukuasaan Allah moga kamu mendapat peringatan.” (Q.S. al-A’raf (7): 26).73

Menurut M. Quraisy Shihab ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan. Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
Dengan demikian Islam melarang umatnya berpakaian terlalu tipis atau ketat (sempit sehingga membentuk tubuhnya yang asli). Kendati pun fungsi utama (sebagai penutup aurat) telah dipenuhi, namun apabila pakaian tersebut dibuat secara ketat (sempit) maka hal itu dilarang oleh Islam. Demikian juga halnya pakaian yang terlalu tipis. Pakaian yang ketat akan menampilkan bentuk tubuh pemakainya, sedangkan pakaian yang terlalu tipis akan menampakkan warna kulit pemakainya. Kedua cara tersebut dilarang oleh Islam karena hanya akan menarik perhatian dan menggugah nafsu syahwat bagi lawan jenisnya. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian ia pun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah. Dengan demikian hukum berpakaian ada tiga yaitu wajib, sunnah dan haram. Hukumnya wajib jika untuk menutupi aurat, hukumnya sunnah jika dengan berpakaian itu menjadikannya lebih menarik dan indah dan haram hukumnya karena ada larangan dari Rasulullah. Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. Karena aurat adalah sesuatu yang harus dijaga oleh setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan maka ini adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Sesuatu yang baik akan tetap apik ketika dapat dijaga. Untuk itu bagi perempuan diwajibkan menutupi seluruh anggota tubuh kecuali bagian-bagian tertentu yang boleh diperlihatkan. Di samping itu pakaian yang dugunakan tidak menjadi fitnah pada dirinya.
seperti transparan sehingga bagian dalam tubuh tidak terlihat atau sempit serta tidak menyerupai pakaian laki-laki. Mengenai pakaian laki-laki juga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu tidak terbuat dari sutera murni, tidak berlebihan atau mewah, serta tidak menyerupai pakaian wanita.
Disamping itu disunnahkan dalam berpakaian memenuhi unsur keindahan Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih. Ada yang mengatakan bahwa memandang kehijauan dan air yang mengalir dapat menguatkan pengllihatan. Karena hasiatnya itulah, warna hijau menjadi warna yang paling dsukai oleh rasulullah. Ibnu Baththal menngatakan, “Dengan Rasuliullah menyukainya saja sudah cukup bagi warna ini kemuliaan dan alasan disukai.” Qatadah menuturkan, “Suatu hari kami pergi bersama Anas r.a kesuatu tempat. Lalu ketika kami sampai disana seseorang berujar, ‘Betapa indah kehijauan ini. Maka ketika itu Anas berkata, ‘kita sudah pernah membicarakan bahwa warna yang paling disukai oleh Nabi SAW. adalah hijau. Demikian juga dianjurkan memakai pakaian dari sebelah kanan lalu sebelah kiri, dan melepaskannya dari sebelah kiri lalu kanan. Dan sebenarnya tidak hanya dalam hal berpakaian saja tapi dalam mengerjakan semua hal sanagat dianjurkan melakukannya dengan yang kanan terlebih dahulu, seperti, makan, wudlu, hingga memakai sandal pun harus didahulukan yang kanan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi tentang tata cara mengenakan sandal. Bahwa itu merupakan mengarahkan segala sesuatunya, menuju ke yang sebelah kanan. Dimana sebelah kanan, merupakan perlambang dari "Ashabul yamin", golongan kanan, atau golongan yang baik. Dan sebelah kiri umumnya adalah perlambang dari "Ashabul shima", atau golongan kiri, atau golongan yang menjadi lawan dari baik.





[1]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 155-156
[2]Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Surabaya: Dimas, t.th., hlm. 163-164
[3]Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradat Alfadz al-Qur’ân, disunting oleh Nadim Mars’ashli, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 70.
[4]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130
[5]Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.,

1 comment:

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Sri Rahayu asal Surakarta, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil di daerah surakarta, dan disini daerah tempat mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat Jl. Letjen Sutoyo No. 12 Jakarta Timur karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-1144-2258 atas nama Drs Muh Tauhid SH.MSI beliaulah yang selama ini membantu perjalanan karir saya menjadi PEGAWAI NEGERI SIPIL, alhamdulillah berkat bantuan bapak Drs Muh Tauhid SH.MSI SK saya dan 2 teman saya tahun ini sudah keluar, bagi anda yang ingin seperti saya silahkan hubungi bapak Drs Muh Tauhid SH.MSI, siapa tau beliau bisa membantu anda

    ReplyDelete

Komentar Facebook