Wednesday, July 20, 2016

JIKA BERTENTANGAN AGAMA DENGAN AKAL Catatan Kecil M.Rakib Riau Indonesia



JIKA BERTENTANGAN AGAMA DENGAN AKAL  

Catatan Kecil M.Rakib Riau Indonesia
 
“Mayoritas aliran Liberal berpendapat bahwa akal dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruk (yakni tanpa wahyu). Pernyataan ini merupakan sandaran pertama dan kaidah mereka di mana mereka membangun syariat di atasnya sehingga akal lebih utama dalam ajarannya. Mereka tidak curiga pada akal tapi terkadang curiga pada dalil ketika terlihat tidak sesuai dengan mereka sehingga mereka menolak banyak dalil yang syar’i.” (Mukhtashar al-I’tisham, hlm. 46)

Pertentangan akal dengan syariat tidak akan pernah terjadi manakala nashnya shahîh dan jelas (sharîh) sementara akal yang menjadi tolok ukurnya juga sehat. Jika kita telah mengetahui suatu nash itu shahîh dan sharîh, namun masih terkesan ada pertentangan, maka bersegeralah mengintropeksi diri, mencurigai akal kita, lalu bertanya, masih sehatkah akal kita ? Sudah maksimalkah akal kita dalam usahanya memahami dan memaknai nash tersebut ?
Karena bisa jadi akal kita tidak memahami maksud nash yang kita pelajari tersebut atau akal kita belum mampu memahami masalah yang dibahas secara benar. Karena sudah bisa dipastikan, nash yang shahîh tersebut pasti benar. Untuk itu, dalam mempelajari sebuah nash, kita memerlukan bimbingan dan rujukan dari para Ulama yang telah membahas nash tersebut dengan baik dan benar.
Jika kita dihadapkan dengan permasalahan akal kita yang tidak sesuai dengan nash yang sedang kita tela’ah, sementara kita juga belum menemukan rujukan dari Ulama, maka ingat-ingatlah ajaran al-Qur’ân dan Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil serta anjuran para sahabat yang bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan jalannya turunnya wahyu secara langsung.
Seperti beberapa perkataan Ulama berikut ini :
1. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahîh dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allâh Azza wa Jalla meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”
2. Dan perkataan bijak dari Abul Muzhaffar as-Sam’âni rahimahullah ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah. Beliau rahimahullah berkata, “Adapun para pengikut kebenaran, mereka menjadikan al-Kitâb dan as-Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada al-Kitâb dan as-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla di mana Allâh Azza wa Jalla perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil al-Kitâb dan as-Sunnah kemudian menuduh akal mereka sebagai pihak yang bersalah. Karena sesungguhnya keduanya (al-Kitâb dan as-Sunnah) tidak akan memberikan petunjuk kecuali kepada yang hak sementara pendapat manusia kadang benar kadang salah.”
AKIBAT LEBIH MENGEDEPANKAN AKAL DARIPADA NASH

Perlu diketahui, lebih mengedepankan otak daripada nash akan menimbulkan bahaya dan dampak buruk yang berujung pada kesesatan pelakunya. Diantara bahaya yang selalu mengintai pelakunya :
1. Terjangkiti penyakit sombong yang menyerupai sifat Iblis, ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allâh berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu ?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’ [al-A’râf/7:12]
Mereka sombong dan ujub, tidak menjadikan firman Allâh Azza wa Jalla yang menjelaskan tentang akibat kesombongan sebagai pedoman dan seakan tidak membutuhkan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah Karena mereka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai dari padanya. [al-A’râf/7:146]
2. Keengganan mengikuti serta menolak syarî’at adalah sifat yang menyerupai sifat orang kafir yang menolak keputusan Allâh Azza wa Jalla dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad. Dengan sombong, mereka mengatakan :
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ
Dan mereka berkata, ‘Mengapa al Qur’ân ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini ?’” [az-Zukhruf/43:31]


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook