Friday, June 16, 2017

Rakib Jamari menambahkan 4 foto baru.
Baru saja
Renungan Ramadan Dr.M.Rakib Jmari Pekanbaru Riau indonesia,
BELUM TERJADI MUBALLIGH SALAH TANGKAP
BEBERAPA BULAN YANG LALU, ADA KABAR BAHWA PENCERAMAH, KHATIB AKAN DISERTIFIKASI, TIDAK JELAS TUNJANGAN SERTIFIKASINYA BERAPA JUTA RP.. TAPI YANG DIKHAWATIRKAN KALAU ADA KHATIB YANG DITANGKAP, LALU SALAH TANGKAP, ATAU SALAH ORANG, ..APA TINDAKAN HUKUMNYA?
Ada tulisan yang menarik adari Jecky Tangens ,S.H., bahwa perkara salah tangkap bukan cerita baru dalam dunia hukum di Indonesia. Sejak zaman Sengkon Karta yang kemudian melahirkan lembaga Peninjauan Kembali, sampai dengan kasus Kemat & David yang dituduh melakukan pembunuhan, dimana kemudian terungkap bahwa ternyata Very Idham alias Ryan Jombang lah yang menjadi jagalnya. Kasus-kasus klasik salah tangkap ataupun peradilan sesat ini tampaknya terus terulang berkali-kali. Pada tahun 2013 yang lalu misalnya Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mencatat bahwa telah terjadi 31 kali kasus salah tangkap yang di Indonesia.
Pengalaman serupa dialami oleh penulis dan rekan-rekan LBH Mawar Saron yang kerap menangani perkara-perkara salah tangkap. Misalnya, kasus Sri Mulyani di Semarang yang sempat ditahan selama 13 bulan di dalam penjara karena tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, atau kisah Krisbayudi, seorang buruh di Jakarta yang ditahan selama 251 hari akibat tuduhan pembunuhan berencana terhadap Ibu anak di daerah Priok. Selain itu, ada pula kisah dari Batam tentang Rahman Idaman, korban Lakalantas yang malah dijadikan tersangka hingga harus menjalani penahanan sampai akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Batam.

Masih menurut Jacky Tangens , S.H.,bahwa bagi pihak yang terlanjur telah diambil kebebasannya melalui proses penahanan, tentu saja “surga” yang dinantikan oleh mereka adalah putusan bebas (vrijspraak) dari palu hakim. Sayangnya seringkali putusan bebas yang dinantikan tersebut tidak serta merta dapat memulihkan kembali kondisi para korban salah tangkap ini seperti sediakala. Mereka, para korban peradilan sesat, pasti akan menyisakan persoalan yang besar bagi keluarga yang ditinggalkannya, apalagi jika terdakwa itu adalah tulang punggung keluarga dengan beban ekonomi yang harus ditanggungnya.
Semuanya itu tidak bisa langsung dipulihkan dengan embel-embel amar putusan hakim “memulihkan harkat dan martabat, dan merehabilitasi terdakwa”. Dalam praktiknya para korban salah tangkap ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti kehilangan pendapatan maupun pekerjaan, keluarga pun menjadi korban secara tidak langsung karena dijauhi oleh lingkungan akibat label “kriminal” yang terlanjur disematkan, serta siksaan dan tekanan batin di dalam penjara yang sempit selama berhari-hari bahkan sampai bertahun-tahun.
Mengembalikan kerugian yang telah diderita sebagaimana dalam posisi semula itulah yang menjadi persoalan besar selama ini. Bagaimanakah caranya bagi korban salah tangkap ini untuk bisa mendapatkan ganti kerugian dari negara atas proses penyidikan dan peradilan yang salah selama ini bagi dirinya? Bagaimana fungsi negara untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian yang telah timbul bagi para korban salah tangkap ini?
Praperadilan sebagai Instrumen Ganti Kerugian
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah memberikan peluang untuk setidaknya mengajukan gugatan ganti rugi atas prosedur keliru yang dijalankan oleh penegak hukum atas peristiwa salah tangkap ini dengan menyediakan instrumen praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP.
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan."
Sayangnya, penggunaan instrumen praperadilan guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer. Secara etimologis, penggalan “pra” pada kata “praperadilan” yang dapat dimaknai sebelum peradilan (pokok perkara) memang terkesan agak kurang relevan konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang telah inkracht atas pokok perkara.
Konstruksi ini pernah digunakan dalam kasus LBH Mawar Saron Semarang dalam Perkara No. 49/Pid/2013/PT.SMG tertanggal 15 April 2013 jo. Putusan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.Smrg tertanggal 14 Januari 2013, dimana saat itu seorang kasir di sebuah karaoke di Semarang dituduh memperkerjakan anak di bawah umur dan kemudian ditahan selama 13 bulan di dalam penjara. Si Kasir kemudian dibebaskan melalui putusan Kasasi MA dan mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kepolisian serta Kejaksaan untuk menuntut ganti kerugian kepada negara.
Lalu, Ada juga kasus LBH Mawar Saron Jakarta dalam Perkara No. 10/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Ut tertanggal 15 September 2014 seorang buruh yang dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan berencana hanya berdasarkan keterangan seorang pelaku lainnya sehingga harus menjalani penyiksaan dan mendekam di dalam tahanan selama 251 hari sampai akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis bebas (vrijspraak) kepadanya.
Putusan bebas atas para terdakwa tersebut telah menguatkan posisi mereka selaku korban salah tangkap yang diambil secara paksa kebebasannya dengan adanya penahanan selama berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut mereka kemudian mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (PP 27/1983), tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sayangnya Pasal 9 PP 27/1983 hanya mengatur batas maksimal ganti kerugian sebesar Rp1 juta dan Rp3 juta bagi korban yang akibat salah prosedur tersebut menderita cacat bahkan sampai mati.
Pasal 9
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Permasalahannya, nominal senilai Rp1 juta tentunya tidak bisa diaplikasikan lagi pada zaman sekarang. Analoginya, dapat kita lihat misalnya pada PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP (Perma 2/2012), Terima kasih Pak Jecky Tanens...wassalam..dari M.Rakib Riau Indonesia.2017
Tunjukkan lebih banyak tanggapan

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook