Thursday, August 10, 2017

Rakib Jamari membagikan kirimannya. 7 menit · Rakib Jamari 7 menit · POLA PIKIR JIL SEMAKIN MENGHARUKAN KOK ....JADI BEGINI Dikutip dari Vao Islam: Buku Fiqih Kebinekaan, Persembahan untuk Siapa? JAKARTA (voa-islam.com) – Maarif Institute bekerjasama dengan Mizan menerbitkan buku Fikih Kebinekaan (Agustus 2015). Buku yang tebalnya 360 halaman itu, berisi artikel-artikel yang ditulis lebih dari 16 penulis. Intinya bila dikaji seksama buku ini mendukung faham pluralisme dan kepemimpinan non Muslim di Indonesia. Sebelum buku ini diluncurkan 20 Agustus 2015 lalu, Maarif Institute pada Februari lalu mendahuluinya dengan membuat seminar yang bertema Halaqah Fikih Kebinekaan. Acara ini dilaksanakan 24-26 Februari 2015 lalu di Jakarta. Harian Kompas membuat liputan acara ini hampir setengah halaman (28/2/2015). Dalam acara itu selain dihadirkan intelektual-intelektual yang selama ini dikenal pemikirannya liberal, juga dihadirkan dua lurah. Dua kepala desa itu adalah Susan Jasmine kepala desa Gondangdia Jakarta dan Halidja Marding kepala desa Morea Minahasa Tenggara. Susan mewakili lurah non Islam memimpin daerah mayoritas Islam dan Halidja lurah Muslim memimpin daerah mayoritas non Islam. Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah menyatakan bahwa Indonesia yang majemuk merindukan bacaan kitab suci yang sesuai dengan konteks budaya dan sosial setempat. “Di negeri ini kita perlu bacaan yang toleran terhadap perbedaan interpretasi keagamaan dan tidak memonopoli kebenaran,”tulis Kompas. “Pertimbangkan kebinekaan dalam pembuatan legislasi dan regulasi demi menjaga kehidupan harmonis dan mencegah konflik,” ujar Khelmy K Pribadi Manajer Program Islam dan Media Maarif Institute dalam acara itu. Bila ide-ide Maarif Institute (MI) ini disebarkan, maka ke depan kaum Muslim Indonesia akan menyerahkan banyak kepemimpinan daerah atau pusat ke pemimpin ke non Muslim Kelanjutan dari Buku Fiqih Lintas Agama? Buku Fiqih Kebinekaan ini sebenarnya mirip dengan buku Fiqih Lintas Agama (FLA) yang diterbitkan atas kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina dan Asia Foundation (2004). Buku FLA ini sempat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat karena isinya menjustifikasi kebenaran agama lain dan mendekontruksi hal-hal yang sudah ‘muhkamat’ dalam Islam. Bagi masyarakat awam membaca buku Fikih Kebinekaan mungkin biasa saja. Tapi bagi mereka yang mendalami keilmuan Islam, akan menganggap bahwa buku ini membahayakan masyarakat. Karena penulis-penulisnya intinya menjustifikasi bahwa kepemimpinan non Muslim di wilayah mayoritas Muslim (Indonesia) adalah suatu keniscayaan demokrasi, karena itu tidak perlu dipermasalahkan. Siti Ruhaini Dzuhayatin di dua aline terakhirnya artikelnya menulis: “Pada saat ini masyarakat cenderung berfikir substantif ketimbang simbolis sehingga dualisme kepemimpinan itu dapat diterima realistis bahwa kepemimpinan politik diarahkan untuk mendistribusi keadilan dan kesejahteraan siapapun dan apapun latar belakangnya. Sedangkan pada masalah agama, mereka lebih kritis, seiring meningkatnya pendidikan sehingga otoritas agama tidak lagi bersifat tunggal. Terlebih lagi privatisasi dan domestifikasi agama nampak semakin menggejala sehingga ikatan kolektivitas terhadap figur karismatik semakin memudar…”(halaman 315). Sedangkan Wawan Gunawan Abdul Wahid menulis: “Di tempat lain Ibn Taimiyah menegaskan bahwa keadilan merupakan syarat terpenting bagi seorang pemimpin. Sedemikian pentingnya tentang keadilan ini, Ibn Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil meskipun kafir (pemimpinnya). Dunia itu dapat tegak dengan memadukan antara kekufuran dan keadilan dan dunia tidak dapat tegak dengan modal kezhaliman dan keislaman.” Kalimat Ibn Taimiyah di atas kiranya mengisyaratkan bahwa kepala negara yang mampu mengejawantahkan keadilan meskipun non Muslim lebih baik daripada kepala negara yang beragama Islam tetapi tidak mampu mengejawantahkan keadilan.” (halaman 321) Untuk membenarkan pendapatnya bahwa pemimpin non Muslim tidak masalah, Wawan Gunawan selanjutnya mengutip tokoh Islam Muhammad Abduh. “Kata Abduh, ayat-ayat yang dikutip para ulama yang menolak menjadikan non Muslim sebagai pemimpin sama sekali tidak dapat ditolak kebenarannya. Yang tidak disebutkan kata Abduh, bahwa mereka yang dilarang untuk dipilih itu adalah karena mereka memusuhi umat Islam. Ketika entitas non Muslim itu tidak memusuhi umat Islam dan mereka bersama-sama umat Islam dalam satu entitas negara sebagai warga negara maka mereka dapat dipilih sebagai kepala negara. Abduh melandasi argumentasinya dengan Surah al Mumtahanah ayat 7, 8 dan 9…” (halaman 323). Akhirnya Wawan Gunawan, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pengurus Muhammadiyah ini menyatakan : “Karena itu pula tulisan ini dapat ditutup dengan penegasan. Memilih pemimpin non Muslim di tengah masyarakat Muslim hukumnya diperbolehkan. Itu dirujukkan pada dua hal. Pertama, masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut (al mutaghayyirat). Kedua, larangan memilih pemimpin non Muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya. Yaitu manakala mereka (non Muslim) melakukan penistaan kepada umat Islam. Dalam suatu masyarakat majemuk dimana antara umat Islam dan non Muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka antara keduanya bisa merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.” (halaman 325). Tidak ada Pemimpin Muslim yang Adil di Negeri ini?

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook